Majnun Tidak Gila

 

          “Sudah dicatat di excel semuanya mbak Hara?” Tanya bu Bidan sambil menunjuk ke komputer.
         “Sudah bu.”
         “Oke. Markipul.. Mari kita pula~ng.” 
           Di luar prediksi, kegiatan posyandu balita pagi itu selesai dengan cepat karena tak ada kejadian khusus yang membutuhkan waktu lama. Dengan begitu Hara dapat beristirahat sejenak sebelum trip singkatnya esok hari.
          “Besuk keretamu jam berapa Ra?”
          “Jam enam. Pulang sekitar jam sepuluh.” 
           Hara langsung disambut oleh mas Ammar begitu tiba di rumah yang biasanya hanya terdengar suara bapak dan ibunya saja. Kecuali pada akhir pekan saat Fay pulang sebentar. 
          “Fay katanya mau pulang nanti?” 
          “Sengaja tak suruh pulang hari ini.” 
           Mengerut dahi mas Ammar, namun masih mendengarkan.
          “Sebisa mungkin tiap akhir pekan tak suruh pulang.” 
           Hara mengganti pakaian dan meneguk minumannya dengan cepat lalu kembali dengan tas ranselnya.
          “Si Fay itu bahaya kalau terlalu dibebaskan.”
           Faiha, anak bungsu di keluarga Hara memang agak berbeda dari dua saudara lainnya yang cukup santun. Fay si bungsu sudah seperti simbol kegaduhan di keluarga Hara. Dan keputusan untuk berkuliah jauh di luar kota membuat Hara terkadang harus lebih keras kepadanya.
           Dan untuk mengawasi konflik kedua anak perempuannya itu, bapak dan ibu Hara memasrahkan segalanya kepada anak tertuanya. Mereka lebih suka bertanya kepada anak lelakinya itu daripada harus mengorek langsung dari Hara atau Fay. Karena meskipun berbeda tabiat, keduanya sama-sama berkepala batu jika punya mau. 
           “Mbak Hara pergi sama siapa?” Sela Fay sesampainya di rumah.
           “Arin, Mei, Fatma.” 
           “Mbak Mei kan mau nikah bulan depan.”
            Hara diam saja tahu itu bukan sesuatu yang perlu diapa-apakan. Sedang mas Ammar yang sudah bersiap dengan motornya tiba-tiba memandangi kedua adiknya. Seperti ingin mengucap sesuatu. Namun yang terucap malah sesuatu yang lain. 
           “Ra hati-hati. Jaga diri.” Pesannya.
            Hara mengacungkan jempolnya tanda ia bersedia menerima pesan itu.
            
      ***
           
           “Hasbi..!!” 
            Mulut Hara berucap lirih dan matanya terbuka lebar sedang dadanya sedikit sesak. Ternyata ia terlelap segera setelah mas Ammar pamit pulang. Hara mengatupkan telapak tangan ke wajahnya yang mulai berkeringat. Dirasakannya udara dingin yang mengoyak seluruh sendinya. Pukul dua belas tepat, itu yang terbaca di layar ponsel Hara.
            Lagi-lagi alam bawah sadar Hara berulah. Itu di luar kendalinya meski Hara yakin jika segalanya pasti datang dari dirinya, sepenuhnya. Hara tak pernah memberinya makna karena jiwa yang merindu tak butuh tafsiran apa-apa.
          “Setidaknya aku bisa menyapanya, membagi rinduku.” Anggapnya.
            Dulu Hara berpikir jika semuanya hanya hingar bingar sesaat yang akan larut dengan sendirinya begitu ia pulih. Nyatanya sampai sekarang Hara tak dapat pulih sepenuhnya dan rasa itu malah menetap di dasar kesadarannya. Pernah ia mencoba mengusiknya tapi itu malah mengguncang mentalnya. Dan sejak saat itu Hara memilih untuk membiarkannya saja.
          “Siapa dia Ra?”
          “Mas mau aku sebut namanya?”
          “Jangan. Jangan pernah.” 
            Hara dan Hasbi pertama bertemu saat esema. Hasbi cukup populer karena ia tipe murid yang aktif dan serba bisa. Lama Hara memandangnya dari jauh tiba-tiba Hasbi dengan berani mendekatinya dan sering mampir ke rumah Hara. Terkadang mas Ammar lah yang menyambut Hasbi karena Hara tak kunjung pulang. Maka sekali Hara menyebut namanya, seluruh keluarganya akan tahu itu Hasbi yang mana.
            Fay yang pagi itu diminta Hara untuk mengantar ke stasiun sedikit sebal sebab hawa dingin yang telah membekukan malamnya. Sepanjang jalan Fay tak berhenti mengomel namun tak berharap respon apapun dari mbak nya itu.
          “Jogja itu kota romantis mbak.” 
            Hara mendengarkan saja.
          “Percuma ke sana kalau enggak bawa pasangan”
          “Tau apa kamu. Ini sudah janjian ketemu di sana.”
          “Ha ha ha ha…. Nulis cerpen ya mbak?” 
            Hara menepuk pundak Fay memintanya untuk fokus menyetir kembali karena tinggal beberapa menit lagi keretanya akan tiba di stasiun. Untungnya Fay bisa diandalkan dalam situasi kritis seperti ini. Dan benar saja, Arin sudah mengancamnya berulang kali lewat pesan teks yang dikirimkan ke ponsel Hara.
          “Mau minta ganti dua kali lipat kalau sampai batal ke Jogja kali ini.” 
          “Jadi ini loh Rin.” Hara bersikap manis.
            Ketiga temannya bergantian mengelus punggung Arin sambil melempar guyonan sementara Arin sendiri masih enggan untuk mengendurkan ototnya. Terang saja Arin sekesal itu sebab semua  e-tiket ada di ponsel Hara sedang pembayarannya masih di tutup Arin semuanya. 
           Banyaknya penumpang yang akan bepergian saat weekend seperti ini tentu menambah padatnya isi gerbong namun tak sampai berjejal. Saat rombongan itu celingukan mencocokkan nomor bangku dengan tiket yang tercetak di ponsel, Hara malah asik dengan pikirannya sendiri.
          “Kota romantis ya.” Ia mengutip pendek kalimat Fay sambil tersipu.
            Baginya Jogja hanya meninggalkan jejak yang tragis, tanpa pernah memberinya kisah yang romantis sama sekali. Tapi nyatanya Hara tetap ingin kembali lagi ke sana. Ia yakinkan dirinya bahwa Jogja adalah kota wisata dengan banyak seniman yang hebat. Jika harus menjadi tragis itu urusan dirinya dengan Hasbi.
          “Nanti aku sama sepupuku, kamu ajak Fay Ra.” Dulu Hasbi yakin akan janjinya.
            Niat dan rencana itu semuanya datang dari Hasbi. Hara tak tahu mengapa Hasbi begitu ingin mengajaknya ke Jogja. Padahal mereka berdua sudah harus merampungkan tugas akhirnya semester itu. Hara hanya harus menunggu hari itu tiba tanpa tahu apa-apa. Hingga ia tak sengaja membuka laman pencarian di komputer Hasbi. Di daftar paling atas pencarian tertulis, tempat romantis untuk melamar.. 
            Hara cukup terkejut tapi ia tak bertanya apa-apa. Ia hanya merasa istimewa karena Hasbi sungguh berupaya untuk itu. Padahal Hara tak masalah jika Hasbi langsung meminta izin kepada bapak dan mas Ammar di rumah. Hanya karena di tempat yang biasa bukan berarti niatnya tak diridhai.
            Waktu berlalu tapi rencana itu belum juga terpenuhi. Hara tak pernah mengeluh karena tahu jika mereka sedang dikejar deadline. Hingga Hara merasa Hasbi sudah tak segembira dulu perihal rencananya ke Jogja. 
            Masa-masa akhir perkuliahan pastilah menjadi sebuah quarter life crisis, begitu Hara menyimpulkan. Keinginan untuk menjadi dewasa sepenuhnya namun nasib seringnya tak menyertai mereka. Intinya Hara tak mau menekan Hasbi terlalu keras. 
            Sampai suatu ketika Hara melihat foto yang diunggah Hasbi tengah berada di jalan Malioboro suatu malam. Kira-kira satu bulan tepat sebelum yudisium sarjana mereka digelar. Meski hanya sekali melewati jalan itu, Hara tahu betul jika jalanan itu selalu ramai oleh wisatawan dan seniman jalanan. Hara tak punya ide sama sekali. Ia juga tak berani mengetik komentar. Namun ia mulai gelisah kala tak seorang pun diantara teman Hasbi yang tahu tentang itu.
          “Asik.. liburan nih. Sama siapa?” Hara memberanikan diri.
          “Temenku Ra.” 
          “Coki sepertinya di kosan tuh.” Hara mulai sinis. “Ubaid sama Randi malah pulkam sejak lusa.”
          “Temanku yang lain. Kamu enggak kenal.” 
          “Cewe ya?” Hara hanya asal menduga. Namun jawaban Hasbi malah tak terduga.
          “Maaf Ra. Maaf sekali.”
          “Yasudah. Silahkan dilanjut.” 
            Hara tak ingat apa-apa setelah itu. Jiwanya meletup seketika kosong tak bersisa. Bahkan ia tak punya apapun untuk dikenang saat prosesi wisuda berlangsung. Duduk dua baris di belakang Hasbi membuatnya semakin mati rasa. Siang dan malam baginya sama saja; gelap. Hara mangaku tak membenci Hasbi. Ia hanya mengasihi nasibnya sendiri. 
            Kurang lebih selama dua jam mereka berempat akan menumpang di atas rel baja itu. Jika tak meleset jauh, mereka akan tiba di stasiun Yogyakarta pukul Sembilan lebih semenit. Waktu yang pas untuk berada di tengah keramaian.
            
      ***

            Setelah keluar dari stasiun Yogyakarta, mereka berempat bergegas mencari becak yang menyusuri jalan Malioboro. Tak perlu memesan kendaraan online karena tujuan mereka hanya ada di sekitar Malioboro.
          “Aku kangen ramainya Malioboro.” 
          “Bener Ra. Suasana malamnya itu loh..” Imbuh Mia.
            Tujuh bulan setelah ijazahnya keluar, Hara mengunjungi tempat ini bersama Fay dan sepupunya. Setiap sudut jalanan ini telah ditandai dengan isak tangisnya. Sekarang Hara kembali lagi ke sini dengan nafas yang lebih ringan. Hara hanya ingin melihat lampu jalan yang berjajar cantik, itu tujuannya.
            Akhirnya rombongan becak itu berhenti di depan museum benteng Vredeburg; benteng yang dibangun Belanda untuk mengawasi segala kegiatan Keraton Kasultanan Yogyakarta saat itu. Bentuk bangunan dari pintu gerbang hingga ke dalam mengingatkan Hara pada pabrik gula yang ada di dekat rumahnya. Meskipun tak sama persis tapi gaya nya sama karena semuanya dibangun oleh Belanda. 
            Puas berkeliling museum, mereka lanjut ke arah alun-alun menuju Keraton. Namun mereka singgah dulu ke masjid Gedhe untuk sekedar beristirahat sambil menunaikan sembahyang siangnya. Hara menengadahkan doa yang cukup umum. Tak perlu ada kerumitan di dalamnya seperti yang sering dinasehatkan banyak orang kepada Hara.
          “Jika aku mengadukan mauku artinya aku mengadukan petaka Hasbi.” 
            Jelas Hara pada Arin suatu hari. Mungkin terdengar sedikit gila tapi Hara jelas tak bercanda saat ingin mengajukan diri menjadi wali dari putrinya. Ia tak merencanakan apa-apa. Namun jika itu sampai itu terjadi pastilah ada petaka pada keluarga Hasbi. Karenanya ia memilih untuk tak membaca apapun selain lafal yang umum; keselamatan, Kesehatan, kekuatan.
            Sekembalinya dari keraton, Arin, Fatma, Mei dan Hara memilih berjalan kaki untuk menghabiskan sisa malam mereka di kota itu. Untungnya awan Jogja sore itu cerah dengan lengkungan mega kemerahan. Langkah pejalan kaki beradu  dengan kendaraan yang melintas menambah keriuhan jalanan itu. Mereka berempat mengitari alun-alun dan menyusuri jalanan sampai di titik Nol Kilometer. 
          “Sebelah sini bagus.” Fatma menarik Mia membelakangi Gedung BNI.
          “Cocok. Angkat lebih tinggi Ma.”
            Fatma mengangkat kameranya lebih tinggi mencari arah yang bagus. Wisatawan lainnya pun terlihat tak ada yang mau melewatkan sore yang cantik itu begitu saja. Namun mereka berempat segera berpindah ke Teras Malioboro; kawasan wisata baru di Jogja. 
            Belum lama ini para pedagang kaki lima yang dulu memenuhi trotoar direlokasi ke tempat ini. Bukannya tak ada penolakan, hanya saja mereka tak ada pilihan. Alhasil dua tempat itu sekarang menjadi hunian mereka. Teras 1 berada tepat di seberang pasar Beringharjo sedang Teras 2 ada di sebelah kantor DPRD Jogja. 
          “Setiap sudut kota Jogja itu romantis.” Suara Mia lantang.
          “Cieileee… Gombal ih yang naruh tulisan.” 
            Tawa keempatnya di depan tulisan dinding itu sedikit mengagetkan orang-orang yang sedang lewat. Lampu yang menyala di antara tulisan menambah kesan mewah yang memang sengaja dipasang untuk menarik para wisatawan.Tak lupa Fatma menyuruh teman-temannya berjejer agar ia dapat mengambil momen itu. 
          “Instagramabel sekali ya tempatnya.”
          “Jelas lah. Sekarang jamannya yang viral Rin. Apalagi Jogja kota romantis”.
          “Romantis bagimu Ma. Bagiku tragis.” Pangkas Hara.
            Arin melirik tajam. Ia tak berharap temannya itu melanjutkan kalimatnya karena Fatma dan Mia tak tahu tentang cerita tragis itu. Arin dengan sigap mengajak mereka berkuliner sebelum perutnya bergantian memainkan nada diatonis untuknya.
            Malam semakin larut namun jalanan itu semakin benderang. Beberapa seniman jalanan masih suka menjajakan keahliannya kepada kami para wisatawan. Mei, Fatma dan Arin mendekat ke pusat kerumunan yang riuh redam. Sementara Hara tetap di tempatnya mengatur jarak agar dapat menikmati pertunjukan dan ramainya jalanan secara bersamaan. 
            Hara menjadi pemilik baru bangku di sebelahnya yang baru saja ditinggalkan oleh pemilik lamanya. Hara menatap lampu jalan yang hangat, langit yang bertabur bintang dan arus manusia yang saling bertabrakan. Sejenak ia merasa damai meski sedikit nelangsa. Jeritan anak-anak yang sedang tantrum tak mengganggunya sama sekali. Ada lagi aroma yang terasa akrab namun juga asing baginya. 
            Hara tak sedang menunggui siapapun tapi jelas ia sedang dalam penantian. Hara tentu tahu jika ia bukanlah Qais yang tangisannya pasti dibalas oleh Laila. Namun rasa yang menetap itu terkadang menjelma menjadi hal yang tak dapat dimengerti sama sekali. Hara pernah menulis di jurnal pribadinya jika ia tak akan pernah menukar takdirnya sekalipun ada tawaran untuknya. Ia masih saja bersukur bahwa takdirnya terhubung dengan Hasbi.
          “Kakak Bunga..”
            Ada teriakan gadis kecil yang sepertinya sedang berlari ke arahnya entah darimana datangnya.  Dengan tangan terbuka dan senyum terbaiknya, Hara bersiap menangkap anak itu. Gadis tiga tahun kira-kira dengan sekotak bakpia di tangannya ambruk di genggaman Hara. Namun yang dilihatnya malah bayangan Hasbi seorang. “Lihat betapa gilanya aku.”  Sentak Hara 
          “Adek mau kemana? Ibumu mana?”
           Belum sempat Hara mendapatkan jawaban, lagi-lagi bayangan Hasbi kembali memenuhi imajinasi gilanya.
          “Ya Tuhan. Aku benar-benar sudah gila.” Hara menepuk dahinya sendiri.
          “Hara?”
            Mata Hara mengerut.
          “Sedang apa? Sendirian? Eh terimakasih sudah menahan Lintang.”
            Hara tak menjawab apa-apa. Ia masih mencoba memahami situasinya.
          “Lintang ayo bilang terimakasih sama tante.”
          “Bukan. Ini itu kakak. Kakak Bunga.”
          “Kan… nakal. Namanya tante Hara. Bukan Bunga”
            Gadis kecil itu meraih tangan Hara tiba-tiba. Hara membalasnya ramah meski masih tergagap. Ia tak pernah menyangka akan dipermainkan oleh takdirnya sendiri malam itu.
          “Namamu siapa?”
          “Lintang. Kakak temannya Abi ya?” Hara mengangguk.
          “Ra kamu sendirian?” Tanya Hasbi.
          “Enggak. Berempat. Itu sedang lihat pertunjukan.”
          “Oh. Aku pikir sendirian.”
          “Liburan bareng keluarga ya?”
          “Ada study banding di dekat sini jadi sekalian ajak Lintang dan bundanya.” 
            Hasbi meraih Lintang yang hampir tertabrak arus pejalan kaki. 
          “Lintang ayo duduk dulu. Nurut sama Abi.” 
          “Namanya Lintang?”
          “Iya Ra. Kan kamu yang milihkan.”
          “Aku tak terlibat apa-apa soal keluargamu Bi.”
          “Cuma aku tambah Eisha di depannya.” Hasbi tak mau menanggapi.
            Mungkin hanya Hara yang merasa kikuk. Meski terkadang masih saling sapa di social media, duduk sedekat ini setelah bertahun-tahun tak pernah Hara niatkan sebelumnya. Apalagi ada Lintang di tengah-tengah mereka.
          “Berapa tahun ya? Harusnya dulu kamu datang Ra.”
          “Kemana?”
          “Kan undangannya sudah kukirim langsung ke rumahmu.”
          “Oh. Aku pas ada acara Bi. Maaf.”
            Hara tersenyum sinis. Batinnya mengamuk. Memangnya ada yang berubah jika dulu ia datang? Sedang dirinya hampir gila saat itu. Bahkan dengan berani Hasbi memakai nama yang dulu dirangkainya. 
          “Jahat sekali.” Bisiknya.
            Hara ingin sekali menumpahkan kekesalannya, tapi ia tahan. Matanya mengembun hebat. Namun saat ia menatap ujung mata Hasbi, Hara seperti kembali ke rumahnya lagi setelah bepergian jauh. Sorot mata yang dulu diakrabinya dan aroma mint yang sering dipilihkannya, membuat Hara mengenang masa lalu yang telah lama usai.
          “Yang penting semua sehat. Abah Ibuk sehat?”
          “Sehat Ra. Fay? Mas Ammar? Sehat?”
            Hara mengangguk. Ia hanya berusaha untuk tak menjadi lain dari sikapnya. Hara pun cukup tahu diri dengan posisinya meski tidak dengan hatinya. Perjumpaan yang terlalu tiba-tiba itu jelas mengguncangnya. Berkali-kali Hara bersedekap memeluk dirinya sendiri agar tak hilang akal.
          “Bakpia nya kasihkan ke tante.”
            Lintang menurut saja. “Ini buat kak Bunga.”
          “Hustt.” 
            Lintang tak peduli dengan koreksi Abinya sementara Hara menerima kotak itu dengan memandanginya hangat. Rambut hitam pekat dengan bulu mata lentik dan perawakan semampai persis seperti Hasbi. Tak heran jika bayangan Hasbi terselip sewaktu ia lari ke arahnya tadi. 

            Hara melambai dan menyaksikan saja dua orang itu perlahan ditelan barisan orang yang lain. Lalu ia terduduk di tempatnya bersiap menjadi gila. Beruntung teman-temannya tak membiarkan itu terjadi. 

            Dengan sisa tenaga yang dimiliki, mereka berjalan menuju penginapan terdekat. Dan sesampainya di penginapan Hara segera melempar tubuhnya dan meraba leher juga pundaknya yang menegang. Ada pesan masuk. 
            “Makasih Ra sudah mengizinkan Lintang memanggilmu Bunga.”
            Ternyata takdir belum selesai mempermainkannya. Mengapa mengungkit nama itu lagi? Hara jelas kacau tapi ia tak sampai mengumpat.
          “Sekarang maumu bagaimana?” Bisik Arin tiba-tiba.
            Hara terkejut ternyata Arin tahu semuanya. Ia pun terdiam namun batinnya riuh sendirian. Ia tak yakin apa maunya. Namun bersikeras jika ia hanya menjalani takdirnya yang demikian rumit. 
            Segala urusannya akan diadukan kepada sang Maha Raja kecuali perkara hatinya. Seperti halnya Majnun yang hanya punya satu Laila, seluruh hatinya telah habis untuk mencintai Hasbi. Dan ketika Laila pergi membawa seluruh cintanya, ia sudah tak punya apa-apa lagi untuk diberikan. Hara tak percaya jika hidupnya akan sia-sia tanpa pasangan. Sebaliknya ia percaya bahwa tanpa cinta hidupnya pasti tak berdaya.
          “Pasangan tanpa cinta atau cinta tanpa pasangan?” Debatnya.
            Pernah terlintas di benaknya, siapa Hasbi hingga mampu mengunci titik tersenyap dalam dirinya? Mungkinkah Hasbi yang bersama Lintang berbeda dengan Hasbi yang dicintainya? Entahlah. Yang pasti bukan Hasbi yang membuang janjinya di Jogja.
 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JTL-My Lecon lyric and translate

Sisi lain Daehan Minguk Manse

Perempuan adalah Makhluk yang dimuliakan ALLAH