Melampaui Batas Gender

Dokumen Pribadi

Saya harus berhati-hati jika ingin membahas topik ini. Topik yang mungkin masih sangat tabu bagi sebagian orang meskipun kita tahu sudah banyak yang membahasnya di ruang diskusi maupun jurnal penelitian. Kapan dan darimana akar permasalahannya, yang jelas budaya patriarki sudah membudaya bersama dengan sejarah kehidupan manusia. Dari penjuru dunia barat hingga timur, dari generasi satu ke generasi lainnya serta di semua lapisan kegiatan masyarakat adalah hal yang lumrah jika laki-laki adalah seorang penguasa. Sebagai bukti, tidak banyak nama-nama perempuan yang dapat dijumpai dalam buku sejarah, legenda bahkan kitab suci. Jika pun ada mereka hanya sebagai pemanis atau pelengkap kisah tersebut. Artinya bahwa tokoh utamanya hampir kesemuanya adalah laki-laki yang digambarkan memiliki tubuh yang perkasa dan pemikiran yang bijaksana.

*****

Menurut ilmu biologi manusia itu berkaitan dengan jenis kelamin; jantan dan betina. Sedangkan istilah laki-laki dan perempuan itu merujuk pada kategori sosial; bukan biologis. Sehingga permasalahan yang terjadi tidak pernah berkaitan dengan jenis kelamin. Akan tetapi di banyak kasus, permasalahan ini banyak yang disandarkan terhadap jenis kelamin manusia yang berakhir dengan sebuah konsep hierarki sosial. Hierarki sosial sendiri terbentuk dari aktivitas masyarakat yang membudaya sepanjang waktu dan menjadi sebuah norma yang dipatuhi oleh banyak orang. Kapan, oleh siapa dan darimana budaya ini dibentuk atau terbentuk, yang jelas nyaris di semua kebudayaan laki-laki itu istimewa sedangkan perempuan itu adalah “milik” laki-laki.

Jika digambarkan situasunya seperti: semuanya harus sesuai dengan standar kehidupan laki-laki, semuanya harus dilihat dengan kacamata laki-laki, semuanya harus berdasarkan sudut pandang laki-laki, semuanya harus dapat memenuhi kepuasan laki-laki. Jika tidak seperti itu maka akan mendatangkan malapetaka, akan menimbulkan permasalahan; akan “dianggap” salah. Sehingga tolak ukur salah-benar ada pada laki-laki. Mengapa demikian? Mungkin karena para dewa kebanyakan adalah laki-laki dan dewa tertinggi juga laki-laki. Sedangkan Tuhan sendiri dalam banyak kepercayaan juga digambarkan memiliki sifat yang dominan maskulin. Hampir tidak ada ruang bagi feminin yang identik dengan sifat perempuan.

Kepercayaan minoritas, penduduk mayoritas, atau pemikiran minoritas saya rasa adalah sebuah pilihan dan hasil dari sebuah tindakan. Tetapi untuk dilahirkan dengan gender tertentu bukanlah kuasa manusia. Manusia lahir sudah dengan gender yang yang melekat pada fisik yang mereka miliki. Seperti yin dan yang; gender juga diciptakan untuk saling melengkapi. Satu gender saja sudah dipastikan tidak dapat membentuk peradaban yang begitu besar di alam semesta ini. Mereka haruslah saling berjalan beriringan. Namun pada kenyataannya identitas gender ini berubah menjadi superior dan inferior. Gender superior dilekatkan kepada laki-laki yang identik dengan kekuatan, kecerdasan dan kebijaksanaan. Sedangkan perempuan dilabeli sebagai gender inferior yang identik dengan nafsu, ego dan kesuburan.

Singkatnya, gender superior terletak di sekitar kepala sedangkan gender inferior terletak di sekitar dada sampai perut ke bawah. Ya mereka berdua saling melengkapi membentuk suatu anatomi tubuh yang utuh. Akan tetapi letak inferior tetaplah pada tubuh bagian bawah sedangkan yang berkuasa atas segala aktivitas tubuh bahkan hidup dan mati nya manusia ada di kepalanya. Patah tulang ada di kategori luka ringan dalam laka lantas. Sedangkan cedera di area kepala (saraf) masuk kategori luka berat karena dapat membahayakan nyawa. Sungguh beruntung sekali mereka yang terlahir dengan gender superior ini. Seisi dunia sudah tunduk kepadanya sejak lahir. Itu karena mereka diyakini akan membawa keberuntungan dan kebijaksanaan bagi peradaban.

Saya sendiri tidak yakin sampai mana batas kesetaraan gender itu. Karena secara biologi manusia dilahirkan dengan gen nya masing-masing. Semua perangai dan tindakannya dipengaruhi oleh gen yang dibawanya. Mungkin inilah yang menjadi acuan bahwa laki-laki identik dengan kekuatan sedangkan perempuan lebih mengutamakan emosinya. Pun pada kenyataannya laki-laki memang lebih kuat secara fisik dan lebih dapat bersikap objektif sedangkan para perempuan cenderung lebih kecil dan kurang objektif. Meskipun laki-laki lebih kuat, tetapi menurut para ahli perempuan jauh lebih tahan. Dan pada kenyataannya sering kali kita menemukan bahwa ada laki-laki yang cenderung lebih tahan ataupun perempuan yang lebih objektif. Sehingga hal ini tidak dapat dijadikan acuan untuk memukul rata identitas gender ini.

*****

Baiklah. Mengandung sampai menyusui serta membuahi sel telur adalah aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh gender tertentu. Selebihnya aktivitas manusia tidak dibatasi oleh gender. Tidak ada yang salah bagi perempuan untuk menarik pedati atau laki-laki yang menenun kain. Semua itu memerlukan keterampilan khusus dan tidak berkaitan dengan gender. Sama hal nya dengan menjadi cerdas dan bijaksana juga tidak memerlukan gender. Mereka  hanya perlu diberi kesempatan yang sama dan dibiasakan dengan hal-hal yang membentuk keterampilannya. Karena pada dasarnya otak manusia itu memiliki fungsi tunggal, bukan seperti sel telur dan sperma yang memiliki fungsi yang berbeda.

Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Plato bahwa para perempuan dapat menjadi pemimpin sama efektifnya dengan laki-laki karena mereka juga punya akal; asalkan mereka mendapatkan pelatihan yang sama serta dibebaskan dari kewajiban membesarkan anak dan mengurusi rumah tangga. Sayangnya justru pendapat Aristoteles lah yang berpengaruh sepanjang abad. Pendapat yang mengatakan bahwa perempuan itu pasif dan reseptif, sedangkan laki-laki itu aktif dan produktif. Perempuan hanya sebagai ladang dan laki-laki yang menabur benih. Dan sampai akhir bapak ilmu pengetahuan ini teguh dengan pendapatnya bahwa perempuan adalah “laki-laki yang tidak sempurna”.

Saya paham betul darimana konsep itu terbentuk. Berawal dari perempuan yang harus mengandung janin di dalam rahimnya hingga melahirkan seorang anak. Selama waktu-waktu tersebut para perempuan praktis memiliki kesempatan yang lebih sedikit untuk beraktivitas, bahkan seringkali mereka tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dan mau tidak mau harus bergantung kepada orang lain, terutama laki-laki.  Dan untuk memastikan kelangsungan hidupnya serta anak yang dikandungnya, mereka akhirnya menyetujui syarat apapun yang diberikan oleh laki-laki, atau mereka  merasa memiliki tanggung jawab untuk memastikan anaknya tumbuh dengan sehat dan kuat sebagai bentuk balas budinya.

Dari sinilah akhirnya banyak perempuan yang membatasi kegiatannya di dunia politik, bisnis dan aktivitas sosial lainnya. Alhasil dominasi laki-laki di semua sektor bertambah kuat setiap harinya. Dan lambat laun tren ini menjadi budaya dan mengakar hingga membentuk sebuah norma yang dianggap sebagai sebuah pembenaran. Oleh karenanya daripada melawan norma yang berlaku, para perempuan memilih untuk menarik diri dari aktivitas yang dinilai “tidak pantas” diduduki oleh mereka. Dan pada akhirnya mereka kehilangan kesempatan dan melemah dengan sendirinya karena dari segi keterampilan mereka sudah tertinggal sangat jauh dengan laki-laki. Sampai di sini saya menjadi semakin skeptis.  Sebenarnya perempuan itu sengaja dilemahkan oleh norma atau menawarkan diri untuk dilemahkan?

Saya setuju dengan pendapat Plato bahwa untuk menyelesaikan masalah gender ini hanya perlu memberikan kesempatan yang sama. Dan kesempatan ini lah yang telah lama dilemahkan oleh norma dan budaya. Bahwa merawat anak dapat dilakukan oleh semua orang, tidak berbatas gender. Begitupun dengan berternak, bertransaksi, membangun rumah, menghibur orang lain, menyembuhkan luka, membawa kabar gembira, menjadi bijaksana dan yang lainnya. Jika hukum Islam memperbolehkan perempuan untuk menjadi imam hanya kepada sesama perempuan sedangkan laki-laki tidak berbatas, hal itu hanya saat pelaksanaan Ibadah berjama’ah saja. Selebihnya tidak ada perbedaan dalam aturan membaca syahadat, membayarkan zakat, melaksanakan puasa bahkan untuk mengelilingi ka’bah pun semua memiliki kesempatan yang sama.

*****

Zaman sudah berganti dan semua akan berpesta jika seorang anak lahir baik perempuan ataupun laki-laki. Setelah perjuangan yang tidak sebentar, perempuan mendapatkan kembali posisinya. Perempuan sudah menguat lagi di semua sektor penting berkat ajaran agama, para pemikir,  ilmuwan, revolusi sejarah dan para aktivis. Adalah hal yang lumrah untuk saat ini jika perempuan berbisnis, berorganisasi, berpolitik, berpendapat, berinovasi dan menjadi bijaksana. Bahkan hukum agama dan negara menjadi sangat ramah bagi perempuan kecuali untuk beberapa hal saja yang hanya dapat dilakukan sesuai jenis kelaminnya. Namun tidak dengan norma yang terlanjur mengakar di masyarakat. Perempuan adalah laki-laki yang tidak sempurna. Diakui atau disangkal, yang terjadi di masyarakat kita memang seperti itu.

Jika ada perempuan yang menduduki posisi penting akan dicibir. Jika ada perempuan yang terlampau aktif akan digunjing. Apapun status yang dimiliki mereka pasti akan dipandang sebelah mata tanpa mempertimbangkan hal lainnya. Dari awal stigma tentang perempuan itu sudah miring. Bahkan kasus pelecehan saja yang disalahkan pasti pihak perempuan. Seolah tidak ada tempat dan kesempatan lagi untuk keberadaan mereka. Padahal tidak hanya laki-laki saja yang perlu makan, tempat tinggal, juga nafsu dan kemauan. Jika perempuan hanya memasrahkan hidupnya pada laki-laki, lalu bagaimana jika suatu hari nanti laki-laki itu mati? Siapa yang akan menanggung hidup dan keselamatan perempuan itu? Bukankah sudah jelas bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati, tidak terkecuali manusia yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Murka saya mencapai puncak saat seorang kolega membisikkan kekalutannya suatu hari yang lalu. Awalnya beliau berkata, “sak iwuhan mbak. Penak sampeyan sik gadis. Senajan aktif sana-sini, nimbrung sana-sini,pulang malem, keluar malem nongkrong kalih temen-temen ya masih ok. La aku janda mbak. Mau obah ae dibilang ndak ingat status, pulang malem digunjing, nyandang sitik dibilang caper, apalagi nek suka ngobrol sama laki-laki dibilang genit. Pokoke sak iwuhan mbak. Sanggane penak sing sik gadis koyo sampeyan.”

Spontan dengan nada marah saya menimpali, “bu, janda juga butuh makan. Rumah tangganya harus tetap berjalan sepeninggal suaminya. Ada anak, orangtua dan dirinya sendiri yang harus dilindungi dan dicukupi. Janda juga bisa sakit bu. Justru janda harus dibantu dan dilindungi. Masih mending panjenengan mau kerja keras untuk memenuhi kebutuhan tanpa meminta belas kasih orang lain, tanpa ngemis di pinggir jalan. Tidak ada yang ingin menjadi janda bu. Tapi hidup-mati manusia adalah ketetapan. Justru yang salah itu pikiran mereka yang kotor. Wong kita bekerja baik-baik, kita diskusi baik-baik, kita meniatkan untuk kebaikan.”

“Iya itu sampeyan mbak. Tapi orang lain tidak seperti itu. Dan faktanya memang seperti itu. Perempuan itu serba salah. Apalagi janda seperti saya ini.”

Jika anda merasa kesal setelah membaca ini; entah kesal karena pendapat saya dari awal atau karena obrolan yang terakhir;  tarik nafas dalam-dalam dan hembuskan…. Pelan-pelan……

Ada satu lagi cerita dari seorang kolega yang tak kunjung dikaruniai keturunan. Segala macam usaha sudah dilakukannya tapi tetap tidak membuahkan hasil. Sampai suara-suara sumbang terdengar di sana-sini. Suara yang lagi-lagi menyalahkan perempuannya. Tetapi dari yang saya lihat, beliau tidak ambil pusing. Beliau berdua sangat menikmati kehidupan rumah tangganya dengan cinta dan kasih sayang yang dimiliki. Hingga suatu hari saya mendengar suara yang seharusnya tidak perlu saya dengar tetapi terlanjur saya dengar. Suaranya berbunyi, “……sakjane yang tidak subur itu suaminya lo. Kalau beliau sih baik-baik saja. Cuma suaminya yang gak mau diajak konsul lagi ke dokter. Sakjane eman-eman………..…”

Tidak saya lanjutkan kalimat setelahnya. Karena benar-benar tidak pantas untuk didengar. Ironisnya lagi, dari kalimat itu sesuatu yang buruk dilimpahkan kepada pihak perempuan dengan sangat biadab. F*ck this sh*t....

Satu lagi kolega yang memiliki masalah tentang kesuburan ini ada yang memilih untuk berpisah yang kemudian dibenarkan oleh orang-orang karena dianggap si perempuan yang ada masalah. Namun setelah mereka sama-sama mengikat janji suci dengan pasangan masing-masing, pihak perempuan telah dikaruniai oleh seorang putri cantik sementara pihak laki-laki masih sama seperti dahulu. Orang-orang kembali mewajarkan hal ini hanya karena dia laki-laki. Dan topiknya pun mendadak berubah menjadi tidak apa-apa menjadi tidak sempurna, dan takdir manusia berbeda-beda, seolah takdir dan kewajaran dapat berubah sesuai gender.

*****

Semakin kesini saya sendiri juga menyadari satu hal; bahwa dengan status saya yang single woman ini akan selalu salah bagi orang lain. Suara-suara yang masuk ke telinga tidak pernah bernada manis malah seringnya terlampau sinis. Satu hal saja, mengapa jika itu single man akan dianggap wajar dan lumrah? Jika itu seorang laki-laki akan diterima dengan wajar sementara jika perempuan akan digunjing dengan segala statusnya; single ataupun janda. Apakah konsep Aristoteles itu masih bertahan di masyarakat kita yang mana sampai kapanpun perempuan akan dianggap “tidak sempurna” hingga dia dapat mengekor atau menjadi “milik” laki-laki? Hingga tulang rusuk Ibu Hawa menjadi satu kepada Bapak Adam?

Iya maksud saya hari ini sudah hampir 2023, bermacam-macam peradaban telah terlewati, berjuta pemikiran telah diterbitkan, bermilyar-milyar orang jenius telah meramaikan atmosfer. Kita tahu bahwa takdir manusia berbeda-beda. Kita semua juga tahu bahwa tidak ada yang sempurna. Sehingga jika kisah hidup manusia menjadi tidak sempurna itu hal yang lumrah. Tidak ada yang salah dengan menjadi perempuan, janda, broken home, yatim-piatu, mandul. Singkatnya semua manusia butuh makan agar dapat bertahan hidup untuk mengabdikan dirinya kepada sang Khaliq; laki-laki maupun perempuan. Jenis kelamin hanya berfungsi sebagai organ reproduksi dan jika sudah tak bernyawa, bentuk fisik itu akan kembali menyatu dengan alam. Sedangkan ruh nya akan kembali kepada dzat Yang Maha Sempurna.

*****

Siapapun memiliki pendapatnya sendiri. Tidak harus sama dan tidak perlu memaksakannya. Tidak semua perempuan akan sependapat dengan tulisan ini dengan berbagai alasan. Saya pun menulis ini juga pasti beralasan yang tentunya berdasarkan pengalaman pribadi saya sendiri dan orang-orang di sekeliling saya. Berdasarkan itu, intinya kebanyakan perempuan khususnya di Indonesia masih sulit untuk diterima. Di segala aktivitas sosial masih sering terbentur dengan status gender nya. Dan musuh terbesarnya tidak lain adalah stigma masyarakat yang terlanjur mengakar kuat. Dan dari situ berulang kali terlintas dalam benak, jika saya terlahir dengan gender superior, apakah segalanya akan berbeda? Apakah segalanya akan mudah? Wallahu a’lam……….

Belum sepenuhnya selesai dengan ini, muncul lagi permasalahan berkaitan dengan gender yang menyuarakan diri mereka sebagai gen Pelangi. Sungguh Tuhan adalah sang pembuat cerita paling hebat, Dia benar-benar penguasa jagat raya yang tidak ada tandingannya. Hanya kepada Mu lah kami menyembah, hidup dan mati kami ada pada Mu………..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JTL-My Lecon lyric and translate

Sisi lain Daehan Minguk Manse

Perempuan adalah Makhluk yang dimuliakan ALLAH