Majnun dan Cinta

“Cinta itu adalah nyala yang ketika berkobar akan membakar semuanya”. Itu adalah gambaran cinta bagi Maulana Rumi dan para sufi lainyya. Bagi mereka, jika api cinta sudah menyala maka tidak ada lagi yang tersisa. Semuanya terbakar dan yang tersisa hanya cinta itu sendiri. Bagi Rumi sendiri, cinta dapat mengubah segalanya. Orang yang perkasa menjadi tidak berdaya, yang asalnya lemah menjadi bersemangat dan kuat. Orang bisa menangis, tertawa atau tersenyum juga karena cinta. Cinta juga digambarkan seperti anggur yang memabukkan dan candu. Seteguk anggur cinta akan membuat para pencinta mabuk kepayang hingga hilang akalnya, karena akal tak mungkin hidup bersama kegilaan cinta (Attar).

Cinta bersama dengan kerinduan. Siapapun yang merasakan energi dari cinta ini akan selalu merasa rindu, rindu untuk bertemu dengan cinta serta rindu untuk dipersatukan dengan cinta itu sendiri. Maka jika seorang sufi telah mencapai tahap kesatuan wujud (wahdatul wujud), bagi mereka tidak ada lagi apapun selain cinta itu sendiri. Semua yang berwujud di dunia ini hanya bayangan dari cinta, termasuk dirinya sendiri. Oleh karenanya para sufi seringkali dianggap gila, sesat bahkan murtad karena pernyatan-pernyataanya yang sulit dipahami oleh orang awam, tidak terkecuali Qays sang Majnun.

Kisah Layla dan Qays merupakan lambang cinta kaum sufi. Para sufi menganggap kisah ini sebagai kisah mereka sendiri. Mereka menganggap hubungan dengan Tuhan adalah hubungan dengan sang kekasih. Layla adalah sang kekasih, sedangkan Qays adalah sang pencinta. Sang Pencinta telah terbakar kerinduan dan cinta. Kerinduannya terhadap Layla telah menjadikannya Majnun (gila). Ia rindu akan kehadiran Layla; merindukan untuk bersatu dengan Layla. Ia tidak perduli pandangan orang terhadapnya, karena yang ada di hatinya hanya Layla seorang. Semua objek yang ada di depannya akan dipanggilnya Layla, bahkan dirinya sendiri.

Sungguh kisah cinta yang pilu. Tetapi bagi mereka yang menapakkan kaki di jalan cinta ini, pasti akan merasakan kepedihan di dalam hati. Para pencinta akrab dengan rasa sakit. Kerinduan yang membuat mereka tidak hentinya mengucurkan air mata. Serta perjalanan panjang dari keterpisahan menuju persatuan dengan sang kekasih. Awalnya saya menganggap kisah Layla dan Majnun ini hanya sebagai simbol cinta mistis kaum sufi dengan kata lain kisah fiksi untuk menggambarkan cinta para sufi. Tetapi beberapa sumber mengatakan bahwa kisah yang ditulis oleh Syaikh Nizami ini benar adanya meskipun tentu tak lepas dari bumbu fiksi.

Saya juga punya cinta. Meskipun cinta yang saya miliki bukan cinta mistis seperti para sufi. Tetapi energi dari cinta itu dapat saya rasakan keberadaannya. Dalam bahasan apapun cinta akan tetap menjadi cinta. Ia terbebas dari batas-batas apapun. Ia manis dan memabukkan meski dipenuhi dengan penderitaan. Siapapun yang terbakar oleh api cinta akan rela untuk menelan seribu penderitaan demi bersatu dengan cintanya. Namun celakanya, dia yang terbakar oleh cinta dunia tidak akan pernah mendapatkan cinta yang sesungguhnya karena yang dicintainya akan mati, binasa. Maka nasehat para sufi adalah untuk selalu mencintai yang tidak pernah mati, mencintai hanya yang abadi, mencintai Dia, cinta sejati. Mencintai selain Dia adalah dusta (Rabiah).

Itu benar, yang dikatakan para sufi. Cinta selain pada Tuhan tidak akan abadi. Cinta pada objek yang hanya sementara juga akan cepat pudar. Di awal seperti rela melakukan apapun, rela menanggung segala macam penderitaan. Namun pada akhirnya kerelaan tersebut akan berubah menjadi ego yang menenggelamkan energi cinta. Namun diantara energi cinta yang tidak abadi itu, ada energi cinta yang tidak semudah itu akan sirna dan tenggelam begitu saja. Cinta tanpa syarat dan tanpa imbalan. Dia lah cinta yang hadir di tengah-tengah ikatan keluarga. Alasannya? Mungkin karena pada keluarga lah seseorang akan banyak bergantung dan saling mengandalkan lebih dari siapapun. Maka energi cinta itu akan bertahan cukup lama dibanding dengan yang lainnya.

Cinta yang saya miliki adalah cinta hina yang jika dipandang oleh para sufi. Namun sejatinya cinta itu tidak ada yang hina. Ego dan nafsu yang datang bersama syaitan adalah yang menjadikan cinta itu hina. Maka ego dan nafsu ini harus dibuang jika seseorang menginginkan kemurnian cinta. Hatinya harus merasa penuh sekaligus kosong oleh cinta. Dan beberapa tahun ini saya mencoba untuk memurnikan energi cinta yang saya miliki agar jelas apa yang sebenarnya saya miliki ini. Cinta atau nafsu? Dan dalam proses mencari kejelasan tersebut sampailah saya pada cinta kaum sufi. Cinta ruhani yang menenggelamkan diri mereka pada misteri jiwa. Mulanya dari kutipan-kutipan cinta mereka, kemudian sampai pada kisah hidup dan bagaimana mereka memberikan gambaran tentang cinta yang mereka miliki.

Mulanya saya berpikir ini hanya kondisi cinta nafsu biasa yang akan dengan mudah hilang jika saya membiarkannya tenggelam oleh hal-hal yang lain. Namun semakin lama dirasakan nyatanya energi ini semakin membuat saya gila. Ratapan demi ratapan yang terjadi di alam bawah sadar sulit dijelaskan. Semua terjadi di luar kendali akal sehat. Seperti dua manusia yang berbeda. Saya seperti punya dua dunia yang terpisah. Salah satu mencoba berjalan sesuai dengan kodrat manusia untuk bertahan hidup, sedang satunya tenggelam dalam energi cinta itu. Saat yang satunya sibuk untuk menjalani tugasnya sebagai khalifah, yang satunya lagi tidak hentinya meratapi keterpisahannya dan merindukan penyatuan.

Orang lain akan mengatakan jika saya hanya belum bisa berpaling (move on). Saya hanya terbawa oleh perasaan. Saya hanya manusia yang egois dengan kemauan saya sendiri. Atau saya hanya berlebihan untuk menyikapi hal yang dianggap sepele bagi sebagian orang. Siapa yang akan percaya dengan kegilaan ini? Kerinduan, Ratapan, kepasrahan, guncangan yang amat kuat. Bahkan para sufi dihujani serapah karena hal-hal yang sulit diterima oleh orang lain. Mereka hanya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Mereka hanya melihat yang tampak. Dan yang tampak itu hanya berdasarkan oleh indera yang tidak dapat menjangkau rahasia cinta hingga yang terdalam. Saya tidak bermaksud menyandingkan atau membandingkan cinta saya dengan mereka. Saya hanya ingin belajar dari mereka bagaimana mengubah gairah cinta hina ini agar menjadi energi yang mulia.

Ada kalanya saya menikmati rindu dan kesenduan itu. Terkadang juga air mata tidak akan cukup untuk mengadukan sakitnya cinta penuh damba itu. Semuanya serba tidak pasti. Jika saya bisa menghentikan keadaan ini akan coba saya padamkan api itu. Akal sehat tidak akan pernah menyebutnya bahkan mencarinya di dunia nyata karena tahu bahwa itu adalah kemustahilan. Tetapi jauh di dasar bawah sadar rasanya nikmat bukan kepayang saat wujudnya menampakkan diri. Sehari saja wujudnya tidak tampak rasanya amat menyiksa. Air mata bawah sadar akan membanjiri seluruh wajah. Dan wujud di sini bukan wujud lahiriah, melainkan…. entah bagaimana menjelaskannya. Bukankah Majnun juga tidak lagi mencari Layla di dunia nyata. Ia hanya mau wujud Layla yang bersemayam di dalam hatinya. Itulah satu-satunya hasrat yang dia inginkan.

Sepanjang apapun saya menjelaskan tidak akan ada yang dapat memahami kondisi ini. Hanya cacian, cibiran dan cemooh yang akan saya dapat. Beberapa kali terbesit niat untuk berkunjung ke psikiater. Tetapi saya ragu mereka juga akan dapat memecahkan masalah ini. Ya hanya saya sendiri yang dapat memecahkan masalah ini. Apakah ini gairah cinta nafsu atau cinta yang lain. Jika ada kesempatan saya ingin bertemu dengan wujud lahiriah itu. Akan saya tatap dan renungkan keberadaannya. Dapatkah energi cinta itu mengguncang seluruh tubuh dan jiwa jika saya bertatapan langsung? Jika tidak, apakah yang saya rasakan itu wujud dari cinta yang lain? Cinta yang meyakinkan saya bahwa diri ini sudah tidak butuh cinta yang lain lagi. Cukup dengan cinta yang mahadahsyat ini? Cinta yang dapat mengubah saya menjadi kuat, bersemangat, bergembira, menangis dan bersedih?

Intinya saya menikmati kondisi ini. Apapun dan bagaimanapun itu, nyatanya saya mendapatkan kekuatan dari cinta untuk melewati segala macam kedukaan. Jika melalui orang itu saya dibukakan sedikit penghalang kepada Dia, Yang Maha Besar, saya rela untuk menderita atas nama cinta. Karena ketika menangis, meratap, menjerit, memohon untuk dipertemukan, dipersatukan, itu rasanya sungguh nikmat. Sehingga saya menyukai hari-hari saya yang seperti ini. Jika Qays menunjukkan secara terang-terangan kegusarannya, Layla memilih untuk menangis diam-diam. Saya bukan Layla karena tidak ada Qays yang membalas tangisan saya. Namun sungguh mereka tidak akan pernah mengerti dengan kondisi ini.

Lihatlah sang Imam besar, Ibnu ‘Arabi begitu mengagumi Sayyidah Nizham yang akhirnya beliau dianggap seseorang yang mesum dan tidak sopan. Syaikh San’an dalam cerita Attar yang begitu menggilai gadis Nasrani yang membuat beliau rela menanggalkan jubah sufinya, bahkan agamanya. Qays yang sangat merindukan penyatuan dengan Layla yang pada akhirnya dijuluki majnun yang membuat malu kabilahnya. Semua itu adalah wujud ketidak-berdayaan menghadapi serangan cinta yang mahadahsyat. Mereka hanya mengikuti arah yang seharusnya mereka lalui. Mereka tidak memilih, tetapi dipilih. Bagaikan budak yang telah tunduk dan tersihir oleh cinta.

Bagi orang awam perempuan dan segala keindahan duniawi adalah nafsu. Tetapi bagi sang Imam besar, seluruh pengetahuan ketuhanan berada di balik tirai Nizham. Atau bagi Syaikh San’an, cahaya ketuhanan ada di balik gadis Nasrani itu. Sedang bagi Maulana Rumi, pada diri Syams lah tirainya terbuka dan menemukan cahaya ketuhanan yang membuat beliau menderita sepanjang hidupnya karena keterpisahannya dengan Syams. Akhirnya saya juga memohon kepada Tuhan, jika memang melalui wujud orang itu Engkau menarikku ke arahMu, maka abadikan wujudnya dalam hati ini meskipun harus selalu dalam ketersiksaan. Jika cintaku ini terlalu hina, kumohon murnikanlah ia walau setetes. Jika benar aku tidak memerlukan cinta yang lain karena aku sudah punya cinta yang mahadahsyat, tunjukkan kebesaranMu. Karuniakanlah aku kerinduan untuk selalu mencinta, duhai Tuhanku (Ibnu ‘Arabi).


Sumber:

Ganjavi, Nizami. 2021.  Laila dan Majnun. Bandung: Mizan.

Muhammad, Husein. 2021. Menimbang Pluralisme: Belajar dari Para Filsuf dan Kaum Sufi. Depok: Nuralwala.

Muhibbuddin, Muhammad. 2020. Pesan-Pesan Cinta Ulama Klasik Dunia: Menyelami Hakikat Cinta Sejati Para Sufi. Yogyakarta: Araska.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JTL-My Lecon lyric and translate

TAMAT

Untuk Saling Mengingatkan Tanggung Jawab