“Semoga
Allah melimpahkan keberkahan serta menghimpun kalian berdua dalam kebaikan.
Amin ”
Sepenggal
doa yang mengiringi pasangan pengantin yang baru saja mengikatkan hubungannya
dalam suatu ikatan yang dengannya mereka akan mulai menjalankan hidup sebagai
pasangan. Benar. Seorang kolega telah resmi menjabat tangan ayah dari seorang
perempuan yang telah ia janjikan sehidup semati kepadanya. Bukan menjanjikan
bahwa setelah ini tidak akan pernah ada kesulitan atau air mata. Melainkan
janji untuk menghadapi kesulitan itu dan segala suka-duka secara bersama-sama
sebagai pasangan. Mungkin begitulah kalimat yang diucapkan oleh mempelai pria
saat beberapa waktu lalu memohon izin sebelum akhirnya janji itu di sahkan,
diikatkan dengan disaksikan oleh beberapa saksi yang datang pada hari yang
sakral itu. Hanya perkiraan saja. Kalau salah ya tidak apa-apa. Kan hanya
menebak. Wakwakwakwak
Saya
tidak menyaksikan secara langsung saat janji itu diikat dengan satu kali
kalimat ijab-qabul. Namun beruntung saya masih dapat memenuhi undangannya yang
memang diperuntukkan bagi keluarga dan beberapa koleganya. Kebahagiaan dan rasa
syukur yang amat besar menyelimuti seluruh anggota keluarga, kolega dan tamu
undangan yang hadir. Tidak ada jamuan makan besar-besaran atau hiburan yang
meriah. Kesemuanya hanya acara-acara inti yang pun begitu tidak mengurangi kekhidmatan acara tersebut. Pembukaan, pembacaan ayat-ayat Al Quran, sampai doa
sudah lewat di atas kepala. Tidak perlu terlalu tegang karena toh bukan saya
yang duduk di pelaminan. Hanya menikmatinya sambil menggeser-geser layar
android yang kelihatannya masa bodo tetapi sejatinya begitu khusu menyimak
acara. 😌
Sesaat
kemudian mempelai pengantin turun sejenak untuk berganti kostum saat acara
mendekati setengah perjalanan. Hal itu tampaknya selalu menganggu saya karena
satu alasan tertentu. Tetapi itu tidak akan menganggu jalannya acara pada pagi
itu. Acara terus berlanjut dan telah sampai pada sesi acara atur pasrah (penyerahan
mempelai pengantin kepada pihak keluarga yang bersangkutan). Seseorang yang
berkesempatan untuk menyampaikan kalimat pasrah mewakili pihak mempelai
laki-laki adalah beliau, bapak Musthofa yang juga merupakan guru, panutan,
senior serta kolega dari mempelai laki-laki begitu juga saya. Saat beliau
pertama kali mengucap salam saya masih dengan mode khusu sambil
menggeser layar android. Kemudian setelah sepatah-dua patah kalimat pembuka
diucapkan, beliau tiba-tiba mencari mempelai pengantin yang saat itu masih juga
belum kembali ke tempat semula. Mungkin kostum yang dikenakannya kali ini
memiliki detail yang cukup rumit yang untuk memakainya pun memerlukan
kehati-hatian.
Saat
itulah saya tersentak dan seketika langsung meletakkan android yang sedari tadi
terus bergeser layarnya. Sebenarnya bukan masalah jika mempelai pengantin tidak
berada di kursi pelaminan, toh keluarga dan tamu undangan yang lainnya masih
setia duduk di tempatnya masing-masing. Apalagi pengeras suara juga menyala
dengan baik yang dari jarak bermeter-meter pun yakin masih akan terdengar
jelas. Tetapi memang lazimnya kalimat pasrah-panampi tidak hanya sekedar
kalimat serah-terima saja, melainkan berisi pesan, nasihat dan kalimat lain
yang berkaitan dengan pernikahan serta hidup berumah tangga kepada para
hadirin, khususnya mempelai pengantin. Sehingga bapak Musthofa juga ingin jika
pesan dan nasihat itu dapat diterima langsung oleh mempelai pengantin tidak
hanya suaranya saja melainkan juga dari mata ke mata.
Pesan
dan nasihat yang mungkin sudah dipersiapkan oleh beliau sejak dari rumah itu
akhirnya disampaikan tanpa menunggu mempelai pengantin kembali ke kursi
pelaminan. Dikatakan bahwa beliau mendapatkan nasihat ini dari gurunya,
panutannya, KH. Muchit Muzadi; kakak dari KH. Hasyim Muzadi, mantan ketum PBNU:
1999-2010. Beliau menyampaikan bahwa dulu kiyai Muchit pernah berpesan
bahwasanya ada lima syarat yang perlu dipenuhi oleh para pasangan dalam membina
kehidupan berkeluarga. Kelima syarat tersebut adalah podho manungsane, podho
uripe, lanang-wadon, podho dewasane, podho senenge. Begitu yang beliau
sampaikan menggunakan bahasa Jawa. Tanpa dijelaskan panjang lebar saya mengira
kelima hal itu sudah sangat jelas maknanya seperti apa yang berhasil saya
tangkap. Tetapi begitu poin pertama dijelaskan saya terbengong sendiri. Ohhh…😯😯😯
rupanya tidak sesederhana seperti yang saya kira.
Awalnya
saya berpikir pesan itu akan saya catat secara sederhana karena hanya akan saya
simpan sendiri. Begitu menyimak penjelasan yang disampaikan oleh bapak Musthofa,
tiba-tiba terbesit di pikiran untuk mencatatnya dan mengabadikan pesan itu
menjadi sebuah tulisan yang harus saya berikan kepada mempelai pengantin. Bukan
apa-apa. Proses ganti kostum yang memakan waktu cukup lama itu pasti akan
memecah fokus mempelai pengantin. Sehingga saya yang hanya duduk menikmati dan
menyimak acara dengan fokus yang utuh ini akan mencatat dan mengabadikannya
untuk mereka berdua. Sangat disayangkan nasihat yang cukup menarik dan sangat
bermanfaat ini hanya menjadi angin lalu yang ikut pergi saat acara selesai.
Baiklah,
kelima nasihat tersebut saya catat urut persis seperti yang disampaikan beliau
karena saya yakin urutan ini dibuat dengan alasan yang jelas. Yaitu untuk
menunjukkan bahwa urutan pertama memiliki peranan paling penting. Semakin
angkanya bertambah akan semakin berkurang nilainya dibanding dengan angka yang
pertama. Dengan kata lain jika urutan pertama itu suatu kewajiban serta urutan
paling akhir tidak akan berarti tanpa urutan pertama. Atau bisa juga seperti
ini, urutan paling akhir merupakan turunan atau buah dari urutan sebelumnya.
1. Podho
manungsane (sesama manusia)
Awalnya
saya sedikit menahan tawa mendengan syarat ini disebutkan. Namanya menikah ya
dengan sesama manusia 😆.
Hanya orang yang akalnya tidak waras akan menikah dengan bukan manusia. Tetapi
siapa yang tahu. Pada abad ini akal manusia terkadang juga ngawur. Dan lagi
dari penjelasannya ternyata tidak cukup hanya itu untuk menggambarkan istilah
“sesama manusia” yang dimaksudkan. Bahwa menganggap pasangannya sebagai manusia
yang bermartabat dengan segala kemuliaannya. Kenyataan manusia merupakan
makhluk yang paling tinggi derajatnya diantara makhluk hidup lainnya. Bahkan
juga lebih tinggi dibanding malaikat, jin serta syaitan. Sehingga penting sekali
memahami hal ini. Memanusiakan manusia, mungkin konsepnya seperti itu.
2. Podho
uripe (sesama makhluk hidup)
Untuk
beberapa saat saya ragu menuliskan ini karena memikirkan makhluk hidup dan
manusia itu lebih dulu yang mana. Mana syarat yang sebaiknya harus dipenuhi
dahulu. Hidup atau manusia. Akhirnya saya mempertahankan urutan ini karena
untuk menjaga keaslian pesan yang saya dengar langsung pagi itu. Dan untuk yang
satu ini juga tidak cukup dipahami menikah dengan sesama makhluk hidup meskipun
pernah saya membaca berita yang menyebutkan bahwa seseorang telah menikahi
sebuh boneka, patung dan lainnya.
Menganggap
pasangan sebagai makhluk hidup yang memiliki bentuk fisik dan jiwa yang
masing-masing dengan kebutuhan yang harus dipenuhi untuk dapat menjaga
kelestariannya. Jika masing-masing pasangan telah memahami ini maka tidak ada
alasan untuk mengabaikan kebutuhan itu. Seperti janjinya yang akan selalu
bersama-sama, dalam pemenuhan kebutuhan pun juga harus dipenuhi secara
bersama-sama. Tidak hanya kebutuhan fisik tetapi juga jiwanya.
3. Lanang-wadon
(laki-laki dan perempuan)
Tuhan
mencipatakan makhluknya berpasang-pasang tidak hanya manusia tetapi juga
hal-hal yang lain, seperti suka-duka, kanan-kiri, atas-bawah, sepi-ramai,
sendiri-berpasangan. Jika pada abad ini banyak manusia yang memilih untuk
berpasangan dengan sesama jenisnya itu menurut saya tetap tidak dapat dikatakan
sebagai pasangan. Yang namanya pasangan ya hanya dengan kanan-kiri,
lempar-tangkap dan pria-wanita. Tetapi sekali lagi ini tidak cukup dipahami
dengan cara seperti itu.
Jika
di awal sudah memahami hakikat makhluk hidup dan manusia pastilah akan lebih
mudah untuk memahami bahasan ini. Makhluk hidup, manusia punya ciri dan
kekhususan masing-masing. Laki-laki dan perempuan yang merupakan manusia dan
makhluk hidup berada pada jenisnya masing-masing. Mereka memiliki kebutuhan,
kekuatan serta kecenderungan masing-masing yang tetap bermuara pada martabat
yang sama. Semisal pasangan yang perempuan suka mengomel dan suka tiba-tiba
marah itu tidak dapat dilawan dengan kekuatan fisik pasangan laki-lakinya atau
sebaliknya. Antara perempuan dan laki-laki diciptakan dengan pembawaan yang
berbeda dan antara pasangan harus memahami ini untuk dapat hidup bersama
sebagai pasangan.
4. Podho
dewasane (saling dewasa)
Tidak
seperti tiga yang awal, kali ini poinnya mudah dipahami dan tidak banyak
mengandung makna ganda. Ya memang harus sama-sama dewasa karena kehidupan
berumah tangga bukan permainan yang dapat dimainkan oleh siapa saja yang tidak
bertanggung jawab. Mereka membangun sendiri keluarga yang akan dijalankan
sepenuhnya oleh mereka sendiri, bukan bergantung kepada orang lain. Bahkan
dalam syarat mendaftarkan pernikahan saja ada batas usia tertentu di hampir
semua Negara. Dewasa memang tidak dapat diukur dengan usia tertentu, namun usia
tertentu sangat mempengaruhi kedewasaan seseorang. Dewasa juga tidak melulu tentang materi. Dewasa berhubungan dengan keadaan psikis seseorang.
Bagaimana dia menghadapi suatau masalah, memecahkannya dan menentukan pilihan
yang tidak hanya baik baginya namun juga orang banyak.
5. Podho
senenge (saling menyayangi)
Tidak
ada yang perlu dijelaskan panjang lebar karena saya sendiri belum sepenuhnya
paham dengan poin ini 😁😁😁. Witing tresno jalaran saka kulino, begitulah motto kebanyakan orang Jawa
yang menganggap cinta, kasih dan sayang itu akan tumbuh perlahan dengan
seringnya mereka menghabiskan waktu bersama dan menghadapi suka-duka bersama.
Jadi tidak masalah jika awalnya tidak pernah ada rasa yang seperti itu asalkan
dapat memahami sebagai manusia, makhluk hidup serta telah dewasa secara fisik
dan psikis.
Sekali lagi selamat
menempuh hidup baru bagi pasangan pengantin yang ada di foto. Semoga Allah
senantiasa melimpahkan keberkahan atas kalian berdua. Dan untuk tulisan ini
masih jauh dari sempurna karena memang hanya catatan yang saya dapat dari acara
walimah kemarin. Tidak ada sumber, rujukan, pendapat dari para ahli yang
relevan. Semuanya murni hanya catatan pribadi. Tetapi jika ingin menambahkan
dengan berbagai rujukan, riset, diskusi atau kritik lainnya amat dipersilahkan.
Terimakasih
|
Komentar
Posting Komentar