Hari Raya, Aktivitas Sosial dan Pandemi
Tinggal beberapa hari lagi bulan suci Ramadhan akan berakhir yang berarti hari kemenangan sebentar lagi akan datang. Bagi umat muslim yang hampir satu bulan ini menjalankan rukun Islam yang ke empat, tentu hari kemenangan akan sangat dinantikan. Hari yang menandai bahwa setiap jiwa akan kembali ke fitrahnya. Jiwa yang seakan baru dilahirkan kembali dari alam kandungan, itu harapannya. Namun jiwa itu tidak akan kembali fitri jika hanya mengandalkan pengampunan dari sang Maha Pemberi Ampunan. Beribadah secara vertikal memang sudah menjadi kewajibannya, namun perilaku secara horizontal juga menjadi tanggung jawabnya. Sehingga ibadah yang dilakukan hari ini dan beberapa hari yang lalu selama bulan Ramadhan dan bahkan satu tahun yang lalu tidak akan bernilai jika saudara, teman serta kenalannya belum merelakan salah dan khilaf yang sedikit atau banyak telah menyakiti mereka. Itulah mengapa pada hari kemenangan umat muslim secara antusias saling berkunjung dan memaafkan.
Saling memaafkan. Tidak hanya tulus untuk meminta maaf, menyadari dan menyesali perilakunya yang barangkali dianggap salah. Namun juga dengan tulus membukakan pintu maaf untuk saudaranya, mengikhlaskan dan melupakan rasa sakit yang mungkin timbul darinya merupakan makna fitri yang sesungguhnya. Bukankah manusia yang baru dilahirkan tidak pernah dapat mengenali apa sebenarnya yang membuat mereka menangis untuk pertama kalinya. Saya rasa bukan dendam atau rasa sakit karena baik tubuh dan jiwanya masih bersih dan suci dari segala hal yang menodainya. Hanya manusia yang sudah berkali-kali menyaksikan bergantinya siang dan malam yang akan memiliki alasan atas rasa sakit itu. Sehingga untuk alasan yang seperti ini banyak manusia dewasa yang memimpikan agar terlahir kembali seperti dahulu yang mana itu adalah hal yang sulit diwujudkan kecuali dengan cara saling memaafkan pada hari kemenangan, Syawal: seribu empat ratus tahun terhitung dari perjalanan hijrah Rasulullah SAW.
Ritual ibadah secara vertikal sudah tentu tidak dapat disombongkan begitu saja karena itu urusan pribadi dengan Yang Maha Kuasa. Salah-salah malah menjadi peluru yang akan berputar balik. Namun ritual yang diperuntukkan kepada sesama manusia bukan hanya perkara pribadi yang dianggap intim, melainkan juga menyangkut hal fisik yang sangat mudah untuk dibanggakan. Pakaian, sepatu, asessoris, tas, wewangian, kendaraan, jamuan, bahkan jabatan akan sangat berpengaruh tidak hanya pribadinya tetapi juga lawan bicaranya. Hakikat silaturrahmi memang untuk mempererat persaudaraan dan membersihkan jiwa dari sisa-sisa penyakit hati yang lalu. Namun penampilan fisik juga lah yang membuat seseorang lebih percaya diri sehingga niat bersilaturrahim dapat terlaksana sepenuhnya. Hal ini mirip seperti niat yang dilisankan. Itu karena manusia diberkahi dengan bentuk fisik yang melekat padanya sehingga hal-hal yang dapat dirasakan serta terlihat secara fisik sudah pasti akan sangat diperhatikan.
Bagi Negara dengan jumlah penduduk muslim yang mayoritas seperti Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah melakukan berbagai aktivitas untuk memenuhi kebutuhan menjelang hari raya. Mulai dari pulang kampung, berbelanja makanan, pakaian, oleh-oleh, serta berbagi hadiah kecil lainnya. Itu semua tidak lagi dianggap sebagai rutinitas melainkan kebutuhan yang jika tidak dipenuhi maka akan sangat berdampak terhadap pemenuhan fitrah nya pada hari raya. Apalagi pemerintah juga telah memfasilitasi kegiatan tahunan tersebut sehingga tidak ada alasan untuk tidak melakukannya. Hanya yang menjadi masalah adalah rutinitas tahunan tersebut bersamaan dengan wabah yang belum kunjung mereda dari tahun lalu. Sedangkan kebutuhan masyarakat tidak dapat diabaikan begitu saja mengingat tahun lalu rutinitas ini sudah dipaksa untuk ditunda demi keselamatan bersama. Ironisnya pandemi masih saja menghantui banyak orang yang akhirnya mau tidak mau rutinitas tahunan itu harus ditunda tahun ini, lagi.
Kebutuhan tetaplah kebutuhan. Pandemi tidak akan menghalangi masyarakat yang sudah sangat merindukan bulan Syawal untuk menunjukkan kemenangannya. Siapa yang peduli terhadap virus yang tak kasat mata itu. Siapa yang dapat menjamin tahun depan pandemi sudah pergi dan kehidupan kembali normal kembali. Siapa juga yang tahu jika tahun depan kita dalam kondisi yang masih sama dengan sekarang; umur, rejeki, kesehatan, waktu luang. Mereka sudah sangat merindukan sanak-keluarga, saudara yang jauh di sana. Dan setelah satu tahun menahan diri untuk tidak gegabah, beberapa dari mereka pun akhirnya menyerah terlepas dari bahaya yang pasti disadarinya. Meskipun begitu bukan berarti mereka mengabaikan keselamatan demi mengejar kesenangan sesaat. Mereka hanya mencoba mendapatkan peluang yang entah kapan lagi akan didapatkannya jika tidak sekarang. Memang pilihan yang sulit.
Bagi yang tinggal dekat dengan orangtua dan juga dikelilingi oleh saudara-saudara seperti saya mungkin tidak terlalu berdampak karena lumayan sering untuk bertemu dan berkumpul meskipun saat ini masih di tengah pandemi. Hari raya tidak jauh berbeda dengan hari-hari biasanya. Atau bagi mereka yang punya rejeki lebih masih dapat berburu pakaian dan oleh-oleh lebaran dari jauh-jauh hari agar dapat terhindar dari kerumunan yang dapat menjadi sumber penularan virus. Bersyukurlah. Karena tidak semua orang punya keberuntungan seperti itu. Ada yang harus menunggu THR yang diberikan mendekati lebaran untuk dapat memenuhi kebutuhannya sehingga tidak dapat berbelanja lebih awal. Ada kalanya momen idul fitri merupakan kesempatan untuk melepas kerinduan yang selama ini sudah lama dipendam. Siapa juga yang tidak ingin sehat dan bahagia bersama keluarga dan orang-orang tercinta. Hanya karena virus bukan berarti mereka tidak layak untuk mendapatkan kesempatan yang penuh berkah ini. Mari berpikir sejenak untuk menjadi mereka. Sudah pasti sulit.
Jika sebelumnya kebutuhan tetap menjadi kebutuhan yang akan selalu diupayakan untuk dipenuhi, maka wabah juga tetaplah wabah yang harus diputus penyebarannya. Kapanpun dan di manapun semua orang diminta untuk selalu waspada karena virus ini dapat menyelinap sesuka hatinya. Tidak peduli hari raya, hari jadi, hari sabtu maupun hari berganti. Sebenarnya berbagai usaha sudah dilakukan oleh pemerintah di berbagai Negara agar pandemi ini menyudahi keberadaannya. Namun usaha itu masih sebatas pemutusan secara sementara. Bahkan sampai saat ini pun masih saja terdengar kabar akan adanya gelombang penyebaran virus kedua, ketiga dan lainnya. Apalagi saat ini bersamaan dengan datangnya bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri yang tentunya aktivitas sosial masyarakat terutama di Indonesia tidak dapat ditekan selamanya. Akan tetap ada yang nekat untuk mudik meskipun penyekatan di mana-mana. Akan tetap ada kerumunan di pasar, pusat perbelanjaan, tempat hiburan serta tempat ibadah.
Yang ingin saya coba katakan adalah apapun usaha yang dilakukan untuk pemutusan rantai penyebaran virus ini jika dilakukan secara setenga-setengah maka hasilnya pun juga pasti hanya setengah, masih jauh dari yang diharapkan. Pandemi ini skalanya sudah mendunia, di belahan Negara manapun akan dijumpai kasus serupa. Sehingga jika usaha yang dilakukan tidak didukung oleh banyak pihak mustahil pandemi akan melemah keganasannya. Larangan untuk berbelanja, berkerumun, pulang kampung yang tidak disertai dengan edukasi, sosialisasi, solusi hanya akan menimbulkan kesenjangan sosial bagi mereka yang merasa tidak pernah diuntungkan dengan kebijakan ini. Apalagi jika ada pengecualian dari kebijakan itu yang menurut banyak orang tidak pantas untuk dikecualikan. Maka sudah sepantasnya siapapun dan apapun perannya dalam masyarakat berbangsa dan bernegara, harus dapat menahan diri dan lebih bijaksana.
Pandemi ada awal suatu saat nanti juga pasti akan menemui akhirnya. Lengah sedikit saja maka usaha yang dilakukan banyak orang selama ini akan sia-sia. Namun 1 Syawal tinggal menghitung hari, hari kemenangan tinggal beberapa jam lagi untuk dirayakan dan pandemi masih terus berlanjut. Edukasi, sosialisasi, solusi. Monggo…….
Komentar
Posting Komentar