Takdir Bukan untuk Dilawan atau Disesali

 

2020 tidak hanya memberikan cerita baru bagi seluruh warga dunia, tetapi juga peradaban baru yang dengannya banyak hal yang dipaksa untuk berubah dan berbenah. Mulai dari cara makan, minum, berbelanja, bertransaksi, belajar, berobat, menikmati waktu luang, bertutur sapa, bahkan untuk sekedar menghirup udara saja harus sesuai dengan tata cara yang bersih dan sehat. Semua itu dilakukan tidak lain untuk tetap dapat bertahan hidup di tengah pandemi yang sedang mewabah hampir di seluruh wilayah di dunia. Bagi sebagian orang hal ini merupakan mimpi buruk yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Mimpi buruk yang semuanya ingin cepat-cepat keluar dari sana dan kembali menjalani kehidupan normal seperti sedia kala. Tetapi tidak sedikit juga yang menganggap masa pandemi ini merupakan sebuah titik balik dari sebuah peradaban lama yang akan segera bergeser dan berbenah untuk menyambut peradaban baru yang ditandai dengan adanya keharusan untuk selalu berubah dan menyesuaikan diri.

Sulit memang jika perubahan ini datang secara tiba-tiba. Penolakan, kecaman, saling melempar salah dan tanggung jawab, hinaan, serta keraguan pasti terdapat di mana-mana. Ketidak berdayaan juga keputus-asaan dirasakan oleh semua orang dalam menghadapi situasi ini. Sehingga banyak yang ingin segera terlepas dari mimpi buruk ini yang pada kenyataannya ini bukanlah mimpi. Pandemi ini nyata. Wabah ini ada di setiap sudut pola hidup. Akan berbeda ceritanya jika perubahan ini terjadi secara perlahan. Kehadirannya tidak terlalu disadari tetapi tertancap kuat pada setiap aspek kehidupan. Akhirnya kita –manusia- tidak akan menyuarakan berbagai keluh-kesah itu dengan beringas. Tidak ada yang merasa dirinya dipaksa untuk berubah ataupun menyesuaikan diri. Tetapi untuk sekarang ini tidak berlaku pola perubahan yang seperti itu. Karena hanya yang dapat menyesuaikan diri dengan cepat lah yang dapat bertahan hidup, dapat mempertahankan keberadaannya.

Tepat pada Februari tahun lalu sebelum banyak masyarakat Indonesia diharuskan untuk segera merubah pola hidupnya, saya sudah lebih dulu dipaksa untuk berubah dan berbenah. Saat kabar tentang pandemi masih terdengar jauh di Wuhan, Beijing, Tokyo, saya sudah mendapatkannya pada tubuh ini. Memang bukan virus COVID-19 seperti yang terdengar di berbagai wilayah itu, tetapi bisa dikatakan mirip meskipun berbeda. Dia adalah bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang juga menyerang saluran pernafasan dan tentunya juga menular dari satu orang ke orang lain jika tidak ditangani dengan benar. Di saat kebanyakan orang masih melakukan aktivitas seperti biasa tanpa ada bayangan untuk tiba-tiba harus berubah, saya sudah merasa terganggu dengan hadirnya bakteri itu yang dengan cepat telah menginfeksi saluran pernafasan. Saat itu saya masih belum atau lebih tepatnya enggan menerima diagnosa yang sangat tiba-tiba itu. Saya lebih suka mengulur waktu berharap mimpi buruk ini mengurungkan niatnya untuk hinggap dalam kesadaran saya.

Tidak lama kemudian pandemi mulai berdatangan dan semakin menjadi. Di manapun akan dijumpai kabar tentang pandemi. Meskipun sudah banyak orang yang terinfeksi di sekitarnya, beberapa masih meragukannya. Banyak yang saling beradu argumen tentang pandemi ini. Tidak tanggung-tanggung, bahkan ada yang menganggapnya hanya sebagai sebuah konspirasi yang dilakukan oleh segelintir orang untuk kepentingan pribadi yang bersangkutan. Namun bagi saya bakteri ini bukan hanya sebuah konspirasi, melainkan takdir yang harus saya terima dan hadapi. Bagaimana mungkin saya dapat terus-menerus mengulur waktu hanya untuk menyangkal sesuatu yang benar adanya. Sekeras apapun saya berusaha menahannya, lambat laun tubuh ini juga akan melemah seiring menguatnya bakteri yang berkembang.  Pada akhirnya saya harus terbaring di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan yang sepadan dan mengistirahatkan berbagai aktivitas yang sebelumnya juga telah berkurang berkat pandemi.

Tidak mudah untuk sakit pada masa pandemi ini. Bahkan sejak awal rencana untuk mengulur waktu bukan untuk menolak mendapatkan diagnosa dan perawatan yang sesuai. Melainkan ketakutan akan prosedur yang harus dilalui dan yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah penerimaan dari para tetangga dan masyarakat. Bukan rahasia lagi jika siapapun yang terinfeksi virus pandemi ini secara otomatis akan dihindari karena sifatnya yang mudah menular. Meskipun infeksi ini bukanlah sebuah aib yang harus ditakuti, namun bagi masyarakat awam akan tetap dianggap seperti monster dengan taring dan kuku tajam. Apalagi kondisi penyakit ini memang dapat menular, praktis mereka lebih suka menyimpulkan jika sakit saya dikarenakan terinfeksi wabah ini meskipun sebenarnya berbeda. Apa boleh buat. Sambil melawan bakteri yang terlanjur menyebar, saya pun harus menghadapi pandangan sebelah mata itu. Sebenarnya cukup dengan minum obat rutin dan asupan gizi yang cukup bakteri ini akan melemah dan berkurang keganasannya. Namun ancamannya tidak sesedarhana itu, melainkan kematian.

Di tengah masa istirahat yang lumayan panjang itu bukan tidak mungkin perasaan marah, menyesal dan berkali-kali mengutuk tentang takdir ini. Apa yang sudah saya mulai harus terhenti sia-sia. Apa yang sudah saya bangun harus dibiarkan runtuh begitu saja. Bagaimana saat saya sering meratap sendirian dengan pikiran kosong yang diikuti oleh linangan air mata. Intinya semuanya menjadi kacau. Semuanya harus ditukar dengan satu hal saja. Tidak besuk ataupun nanti. Tidak untuk diangsur maupun dipinjam. Beruntung saya masih memiliki iman yang selalu dapat menjawab berbagai pertanyaan yang membelenggu akal sehat. Denganya saya juga kembali mendapatkan hobi saya yang tidak pernah benar-benar saya sadari, yaitu ketertarikan dengan karya sastra. Saat itu saya ingat ketika mencoba mengingat bait-bait puisi Hujan Bulan Juni karya Prof. Sapardi yang sejauh ini masih teristimewa bagi saya pribadi. Karena dahulu Juni identik dengan musim kemarau jadi bagaimana mungkin datang hujan pada bulan ini.

Selain karena judulnya yang akan membuat pembaca terheran, Juni juga merupakan bulan yang paling saya nantikan dari sebelas bulan yang lainnya. Setiap kali menginjak bulan ini saya tidak hentinya mengucap syukur karena telah dipertemukan kembali dengannya. Ya.. pada Juni dua puluh enam tahun lalu saya diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari kehidupan ini. Kesempatan untuk itu saya yakin juga milik Ibu yang telah melahirkan saya. Ibu yang juga telah menjadi pribadi yang baru sesaat setelah saya membunyikan tangis untuk pertama kalinya. Sehingga saya yang bertempat tinggal jauh serta generasi yang berbeda dengan Prof. Sapardi selalu ingin menyampaikan rasa terimakasih karena telah menuliskan puisi ini. Puisi ini dibuat jauh sebelum saya lahir. Namun saya masih dapat menikmatinya sekarang bersama karya beliau yang lain berkat tim Gramedia Pustaka Utama (GPU) yang telah mengumpulkan dan membukukannya.

Dari puisi Hujan Bulan Juni dan Aku ingin akhirnya saya memburu puisi-puisi yang lainnya. Dengan kondisi yang masih harus rutin minum obat dan masih rentan ini saya memberanikan pergi ke toko buku di dekat rumah untuk mencari buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Setelah saya mengelilingi rak yang berisi tumpukan buku-buku, akhirnya sampul yang bertuliskan Hujan Bulan Juni  berhasil saya ambil. Tetapi ternyata itu bukan kumpulan puisi yang saya inginkan, melainkan  bentuk novelnya. Karena tidak bisa berlama-lama di toko buku akhirnya saya pulang dengan hanya membawa novel yang ketika saya buka sudah ada pada cetakan ke lima belas. Ada sedikit perasaan menyesal. Memang dari awal seharusnya membeli secara online saja. Namun barangkali dari novel ini ada sesuatu yang lain yang dapat digaris bawahi dan diserap maknanya juga, tegas saya berulang kali. Dan benar saja. Baru beberapa halaman membacanya saya sudah berulang kali berucap bagaimana kebetulan ini terus terjadi yang membuat saya semakin tenggelam menikmati alurnya.

Pertama, dikisahkan bahwa tokoh Sarwono adalah seseorang yang berdarah Jawa sehingga lekat dengan adat dan budaya Jawa begitupun keluarganya. Saya juga asli dari suku Jawa meskipun tidak begitu Jawa seperti Sarwono dan keluarganya. Sehingga ada beberapa budaya Jawa yang dijelaskan di dalam Novel yang terkadang dirasa asing namun sebenarnya tidak benar-benar asing.

Kedua, Sarwono merupakan anak satu-satunya yang dimiliki oleh kedua orang tuanya. Lahir sebagai anak tunggal merupakan tantangan tersendiri bagi Sarwono. Begitupun dengan saya yang dalam istilah Jawa juga seorang unting-unting. Sehingga dalam hal ini saya dapat lebih memahami posisi Sarwono karena posisi kami sama.

Ketiga, entah kebetulan semacam apalagi yang disiapkan oleh Prof. Sapardi yang jelas novel ini ditulis tidak pernah ada kaitannya dengan diri ini. Namun sang anak tunggal Sarwono yang berdarah Jawa ternyata juga sedang sakit yang menurut penjelasan sakitnya berkaitan dengan kondisi paru-parunya. Dia sering batuk-batuk dan tubuhnya juga kurus yang sering disinggung Pingkan bahwa batuk dan kurus tubuhnya mungkin dikarenakan suatu penyakit tertentu.

Dan benar saja dugaan Pingkan ini. Di akhir novel dijelaskan bahwa kondisi Sarwono memburuk dan harus dirawat. Disebutkan jika kondisi paru-parunya penuh dengan cairan yang entah apa diagnosa tepatnya tetapi kemungkinan sakitnya mengarah ke  Pneumonia. Pneumonia dan Tuberculosis pada dasarnya berbeda. Namun keduanya memiliki kemiripan yang bagi sebagian orang terkadang sulit membedakannya. Pneumonia disebabkan oleh jamur, virus atau bakteri. Sedangkan Tuberculosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Gejala dari keduanya juga hampir mirip seperti batuk, demam, nyeri di bagian dada, sulit bernafas serta penurunan berat badan secara drastis. Keduanya juga merupakan penyakit yang dapat menular jika tidak ditangani secara tepat. Entah ini takdir atau hanya kebetulan tetapi novel ini sedikit banyak membantu saya yang saat itu juga sedang berjuang untuk sembuh dari penyakit yang serupa tetapi berbeda ini.

Selang beberapa waktu kemudian saya kembali berburu kelanjutan dari novel ini. Dua novel yang berikutnya dari trilogi ini, Pingkan Melipat Jarak cetakan ke empat serta Yang Fana Adalah Waktu cetakan ke lima berhasil saya dapatkan di toko buku yang sama. Namun kumpulan sajak Hujan Bulan Juni tetap harus saya dapatkan secara online. Jika dari novel yang pertama saya banyak menemukan kesamaan dengan tokoh Sarwono yang seperti takdir, maka dari novel kedua dan ketiga saya banyak menemukan arti dari kehidupan yang ditulis oleh Prof. Sapardi. Seperti yang dituliskannya pada novel kedua yang mana takdir tidak mengenal seandainya merupakan tamparan keras bagi saya yang saat itu sering mengucap kata seandainya menandakan penyesalan yang mendalam. Penyesalan tentang sebuah takdir yang sudah lebih dulu digariskan. Kalaupun saya tidak merasa melakukan sesuatu yang sia-sia, besar kemungkinan kata seandainya yang sering saya ucapkan adalah bentuk perlawanan. Namun takdir bukan untuk dilawan atau disesali, melainkan dijalani dengan ikhlas tanpa banyak mengeluh.

Pingkan Melipat Jarak: 13

Beruntung selama masa penyembuhan sakit, Sarwono selalu dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya. Baik Pingkan ataupun koleganya yang ada di UI masih menunggunya bahkan juga Katsuo yang selama ini dianggap sebagai saingannya. Lain Sarwono lain saya sendiri. Begitu saya diharuskan untuk dirawat dan menjalani proses pengobatan, satu per satu mulai melepaskan diri. Memangnya siapa juga yang mau menunggu untuk waktu yang tidak sebentar itu. Waktu yang berjalan setiap harinya sangat berharga. Sedangkan saya masih lemah dan perlu mengembalikan energi yang sempat turun drastis karena penyakit ini. Namun sekali lagi saya dicubit oleh novel ketiga dari trilogi ini. Dikatakan bahwa selama lakon kita masih dimainkan oleh dalang maka masalah itu selalu saja datang bergantian. Ya begitu itu karena ketika sebuah kisah mendekati akhir, ada saja kisah baru yang muncul menggantikannya – atau bahkan melanjutkannya. Makanya tidak ada masalah yang abadi juga. Manut dan yakin saja apa yang dipilihkan Gusti Pangeran. Mau melawan pun juga sia-sia, kata bapak dan ibu.

Yang Fana Adalah Waktu: 130

Selain novel saya juga suka membaca buku tentang self improvement. Dan di saat masa istirahat kemarin saya sengaja mencari Quiet Impact milik Sylvia Loehken yang diterbitkan oleh tim GPU. Beberapa waktu yang lalu salah seorang kenalan di media sosial merekomendasikan buku ini sebagai bacaan yang menarik bagi pribadi introver seperti saya. Sebenarnya banyak buku yang berkisah tentang introver selain buku ini. Namun semuanya kembali kepada selera masing-masing. Apalagi saya tipe yang lebih suka membaca ulasan dahulu sebelum menentukan pilihan. Dan meskipun buku ini adalah terjemahan namun bahasanya mudah dicerna dan memang buku ini sesuai dengan selera saya. Sehingga saya benar-benar puas saat menyelesaikan buku ini. Kembali buku yang saya cari ini ternyata sudah masuk cetakan ke lima yang artinya sudah banyak yang telah dipegang oleh para pembaca. Buku ini menjelaskan tentang pribadi introver serta ekstrover meskipun poin utamanya lebih mengarah kepada si introver. Hal itu juga sudah disebutkan pada judulnya sendiri yang dikatakannya bahwa Tak Masalah Jadi Orang Introver.  

Tidak hanya memuat bagaimana sebaiknya pribadi introver menjalani kesehariannya atau kebiasaan yang dilakukan oleh mereka. Namun Sylvia dengan jelas juga menjelaskan latar belakang pribadi introver menurut kajian biologi, pun juga ekstrover. Yang lebih melegakan lagi Sylvia tidak menggunakan bahasa yang lebih memihak ke salah satu kepribadian yang mana ia sendiri ternyata seorang introver. Dalam buku ini Sylvia lebih suka mengajak para pembaca untuk selalu menyukai apapun yang telah dimiliki dengan kata lain buku ini mengajarkan cara bersyukur dengan cara yang berbeda. Buku ini disusun sedikitnya sebagai bentuk pembelaan untuk para introver yang sering dipandang sebelah mata dengan tidak menyudutkan sisi yang lain. Seperti yang kita tahu bahwa introver sering dianggap kurang menarik dalam bersosial serta lemah dalam membangun hubungan sosial. Ini sebabnya para introver dianggap membosankan dibandingkan ekstrover. Kurang lebih seperti itu yang selalu saya terima sebagai  introver.

Apakah menjadi introver itu salah. Apakah introver itu sebuah aib. Apakah introver itu tidak pernah mendapat kesempatan. Dan pertanyaan-pertanyaan sejenis yang membuat saya terus menerus memaksakan untuk keluar dari lingkaran introver. Karena terlalu memaksakan itu juga yang akhirnya saya banyak kehilangan tentang diri saya sendiri. Saya lebih mementingkan anggapan dan penilaian orang lain yang justru membuat saya ditinggalkan oleh –yang katanya disebut- si pancer . Akhirnya dari buku ini saya tahu jika semua ini salah. Tidak semestinya saya meninggalkan atau membuang diri saya sendiri. Karena setiap orang adalah diri mereka sendiri. Hanya  dengan mengenali dirinya seseorang akan dapat berkembang bukan malah membuang dirinya. Jika masalahnya ada pada penilaian dan pandangan orang lain itu karena mereka belum memahami konsep introver-ekstrover yang sesungguhnya. Mereka masih beranggapan bahwa ukuran kesuksesan dan kebahagiaan ditentukan oleh satu hal saja.

Baik introver maupun ekstrover masing-masing memiliki cara kerjanya sendiri. Hal ini dikarenakan susunan saraf mereka juga berbeda. Tidak ada dari mereka yang lebih unggul karena semuanya juga memiliki kelemahan. Memang kebanyakan orang lebih menyukai para ekstrover yang lebih agresif dan spontan. Namun yang lebih penting dari itu adalah untuk menerima diri sendiri apa adanya. Tidak perlu memaksakan menjadi orang lain karena kita bukan orang lain. Bertindak sewajarnya saja sesuai dengan kemampuan yang dimiliki karena selalu memaksa menjadi orang lain ternyata sangat menguras tenaga dan melelahkan. Itu juga yang membuat saya berpikir ulang untuk tidak menyalahkan takdir yang baru saja saya terima. Setelah menyelesaikan Quiet Impact ini saya lebih sering mengatakan tidak apa-apa kepada diri ini. Ya tidak apa-apa karena memang tidak ada yang salah jika cara saya berjalan sedikit berbeda dengan kebanyakan orang. Introver bukan aib pun bukan kesalahan. Jadi tidak perlu terlalu menyesal atau marah hanya karena sering dipandang sebelah mata.

Dari itu semua saya kembali dapat berpikir jernih dan sepenuhnya sadar bahwa Tuhan tidak benar-benar mengambil semuanya. Mungkin selama ini hanya pikiran kalut saya yang terlalu berlebihan hingga lalai untuk sesaat. Tuhan baik kok. Tidak hanya kesehatan saya yang dikembalikan, tetapi beberapa tetap dibiarkan untuk saya miliki sebagai bekal untuk menempuh perjalanan panjang di depan. Saya berhasil mengikat pancer saya kembali saat menuliskan ini mirip dengan yang dialami Sarwono. Bedanya situasi yang dialami Sarwono mungkin agak berlebihan karena cerita novel seringnya dibuat seperti itu. Sedangkan bagi saya hal ini merupakan takdir yang telah mengantarkan saya kepada pribadi baru yang lebih segar. Saya merasa telah mendapatkan kembali dunia saya setelah membaca buku-buku tersebut. Pepatah seringnya mengatakan bahwa kita yang sekarang adalah hasil dari kita yang dulu. Sehingga kita yang sekarang tidak akan pernah ada tanpa ada kita yang dulu. Jadi tidak ada hal yang sia-sia selain penyesalan.

Dalam Diriku

Oleh: Sapardi Djoko Damono (1980)

Dalam diriku mengalir sungai panjang,

Darah namanya;

Dalam diriku menggenang telaga darah,

Sukma namanya;

Dalam diriku meriak gelombang sukma,

Hidup namanya!

Dan karena hidup itu indah,

Aku menangis sepuas-puasnya




 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JTL-My Lecon lyric and translate

TAMAT

Untuk Saling Mengingatkan Tanggung Jawab