Menebak imajinasi
Dahulu alur cerita yang memiliki awalan sederhana, konflik yang memuncak mendekati ujung dengan penutup yang elegan merupakan gambaran sebuah cerita yang sempurna. Ibaratnya seperti cerita Cinderella yang menemukan sepatu kacanya atau Rapunzel yang berhasil turun dari kastil . Dengan kata lain alur cerita yang memiliki pola gambar gunung dengan akhir yang bahagia merupakan alur cerita yang sesungguhnya atau alur cerita yang sangat digilai oleh para penonton. Semuanya juga tahu kalau alur yang seperti itu hanya ada dalam sebuah cerita yang bersumber dari keinginan para penulis, tidak benar-benar nyata tetapi sangat menarik untuk ditonton. Siapa juga yang tidak ingin memiliki kisah yang sempurna seperti dalam dunia dongeng. Sambil menonton cerita-cerita heroik seperti itu, sambil berharap pula kisah yang sedang dihadapi di dunia nyata akan memiliki alur yang sama dan bermuara pada kebahagiaan juga.
Itu dulu. Ya. Dulu. Cerita-cerita dongeng yang didominasi oleh para pahlawan yang melawan kejahatan keji di bumi yang diselesaikan dengan kekuatan super power nya untuk mewujudkan kehidupan dunia yang damai, bahagia dan sejahtera karena tidak menerima kejahatan dan hanya diisi oleh mereka yang dapat berbuat adil dan kebajikan. Karakter utama yang disajikan selalu memiliki atau menerima kekuatan atau dukungan -entah dari mana- untuk dapat menegaskan keberadaannya. Kemudian halaman itu akan ditutup dengan akhir yang indah setelah melawan berbagai ujian dan cobaan sepanjang alurnya. Karakter antagonis pasti akan mendapatkan celaan dari para penonton, dan untuk memenuhi kepuasan penonton mereka akan dibuat mati sebagai balasan dari perbuatannya. Atau jika tidak langsung mati akan berakhir menderita yang ujung-ujungnya tetap akan mati juga.
Semakin kesini nyatanya alur yang seperti itu malah terasa hambar untuk diikuti. Tidak ada imajinasi yang liar untuk dimainkan para penonton. Tidak ada kebebasan dan tidak ada tawaran untuk bebas. Semuanya tidak lain hanyalah harapan sesaat yang dipaksakan oleh para penulisnya. Kegelisahan ini juga pernah saya ungkapkan dari kisah Pingkan dan Sarwono sebelumnya. Superhero? Pahlawan? Kesatria? Apakah semuanya harus bertindak layaknya dewa yang berkuasa? Bahkan sang dewa juga lah yang menjadi sebab atas kekuatan jahat dan segala kekejian yang ada. Jika cerita-cerita yang dibuat oleh para penulis memiliki alur yang mudah ditebak, mengapa harus disajikan? Apakah tokoh utama harus menderita atau bahagia? Jika memang alur cerita yang dibuat sedemikian rupa rumitnya, mengapa harus dipaksakan untuk menutupnya dengan indah?
Jika dunia ini dicirikan dengan sebaliknya, maka antara kebajikan dan kekejian sudah pasti sejajar. Dua komponen yang saling berseberangan itulah yang menjadi syarat terbentuknya dunia. Berdua akan selalu mengisi tempatnya dalam segala sisi kehidupan. Karena pada hakikatnya dua yang saling berseberangan itu berada dalam bejana yang sama. Yang artinya bahwa keduanya, baik tokoh protagonis maupun antagonis merupakan tokoh utama. Tidak berlebihan juga, karena setiap tokoh merupakan tokoh utama dalam ceritanya masing-masing. Jika dunia hanya diisi dengan orang-orang yang menjunjung tinggi keadilan, maka sudah pasti tidak akan ada halaman untuk dibalik. Lalu bagaimana akhir halaman yang sesungguhnya itu?. Apakah keadilan yang akan menang atau kekejian yang akan dapat mempertahankan posisinya. Semuanya hanyalah sebatas impian yang semu. Tidak jelas juga siapa, apa dan bagaimana sesungguhnya keadilan itu.
Saat ini saya lebih suka untuk menebak-nebak alur cerita. Jika para penulis telah menyajikan ceritanya dengan teratur, maka saya lebih menyukai alur yang seadanya yang memberikan ruang untuk berimajinasi. Bukan persoalan tentang bahagia, keadilan atau balasan. Tetapi mengenai alur cerita yang tampak nyata dan lebih mudah untuk dicerna oleh akal. Karena faktanya manusia tidak benar-benar mengetahui bagaimana halaman-halaman itu akan dibalik. Apa yang ada dibalik halaman itu sendiri juga tidak dapat diintip. Dan yang pasti akhir halaman akan selalu menjadi misteri. Kita -manusia- hanya akan menebak-nebak apa yang ada dibalik halaman dan akhir halaman. Jika beruntung maka tebakan itu akan terwujud. Tetapi jika sial maka tebakan itu selamanya hanya akan menjadi angan-angan. Siapa yang dapat memastikan bahwa halaman itu sebenarnya sudah dibuat atau mungkin halaman itu selalu kosong sampai manusia sendiri yang mengisi dengan goresan tingkah lakunya setiap harinya. Yang pasti siapapun dari kita adalah tokoh utama dari kisahnya masing-masing.
Perkara keadilan, kebajikan, kekejian, kebiadaban itu kan pada akhirnya akan membicarakan tentang benar dan salah. Padahal ukuran benar dan salah itu akan berbeda pada setiap orang, lingkungan dan generasi. Ya meskipun ada benar-salah yang bersifat universal yang disetujui oleh banyak orang yang dijadikan landasan untuk menentukan moral manusia. Namun ukurannya akan berbeda pada masing-masing individu maupun kelompok. Sehingga tidak jarang kita mendengarkan ada kebenaran yang dikaji ulang atau kesalahan yang ditoleransi. Alasannya hanya untuk menempatkan benar-salah pada takaran dan porsi yang pas. Jika berlebihan akan dipangkas dan jika kurang akan dijejal sampai ukuran yang dirasa sesuai. Dan nyatanya banyak yang menyetujui bahwa keseimbangan dan keselarasan lah yang akan mengantarkan pada kebahagiaan sejati. Karena sesungguhnya alam semesta selalu berpasangan atau berkebalikan.
Jika Tuhan itu Maha Adil dengan KeadilanNya, maka sudah pasti Dia juga akan setuju dengan konsep seimbang dan selaras seperti itu. Bukankah Dia juga yang menciptakan segala kekejian itu dengan segala kebiadabannya. Yang artinya kekejian itu sebenarnya tidak benar-benar bersalah. Jika keberadannya dianggap salah harusnya tidak perlu diciptakan. Dan lagi keberadaan kekejian tidak hanya untuk menegaskan posisi kebajikan, namun juga sebagai penyeimbang. Karena mau tidak mau semuanya memiliki dua sisi yang berbeda. Sama hal nya dengan peran antagonis dan protagonis yang selalu berdampingan. Tidak bisa hanya satu sisi yang harus diberi dukungan sedangkan sisi lainnya harus dikucilkan. Semua berjalan berdampingan demi alur yang menarik. Dan juga keduanya tidak untuk berkompetisi, melainkan saling berkaitan. Jadi tidak masalah alur dan endingnya dibuat seperti apa, karena semuanya kembali lagi pada selera masing-masing.
Komentar
Posting Komentar