Luapan Perasaan 'Hujan bulan Juni'
Juni selalu menjadi bulan paling istimewa diantara sebelas yang lainnya. Lebih tepatnya sengaja menganggap Juni sebagai suatu keistimewaan karena satu dan lain hal. Juni menandakan awalnya musim panas dan suka cita dalam kehangatan yang sebelumnya langit diselimuti awan tebal menebarkan kelembaban di banyak tempat. Awan tebal itu akan pudar saat bulan Juni menjadikan langit seperti ruangan hampa yang akan lekas menghangat begitu matahari terbit dan berubah membeku saat tersengat sinar bulan. Juni juga merupakan waktu yang tepat untuk memulai perjalanan berlibur menikmati kesejukan yang ditawarkan alam setiap tahunnya. Sederhananya karena pada Juni semua sekolah mulai mengemasi kegiatannya dan bersiap untuk menjernihkan jiwa-jiwa para pemainnya. Dengan kata lain Juni identik dengan liburan (holiday time).
Banyaknya hal yang membuat Juni teristemewakan membuatnya selalu dinanti banyak orang. Namun ‘hujan bulan Juni’ memiliki kisah yang berbeda dengan yang lainnya. Bagaimana hujan dapat mampir jika awan telah memudar di langit. Ia telah mengosongkan ruangnya dan bersiap kembali membentuk bongkahan awan baru. Namun ‘hujan bulan Juni’ mungkin saja dalam genggaman eyang Sapardi dan memang benar adanya. Sebenarnya belum begitu lama mengenal beliau, itu pun juga setelah beliau pamit pergi pada Juli tahun lalu. Namun beberapa bait sajaknya yang dipetik oleh para murid dan pengagumnya telah menuntun saya pada ‘hujan bulan Juni’. Sajak pertama yang ditulis boleh saja saya belum lahir, tetapi saya masih dapat ikut menikmati keindahannya sekarang. Mungkin ini yang dinamakan dengan penghubung antara mereka yang sudah tiada dan kita yang masih memainkan jungkat-jungkit.
Sajak puisi merupakan susunan terindah dan mendalam yang diungkapkan pada setiap barisnya. Meski baru membaca beberapa sajak saja keindahannya sudah dapat dirasakan. Itu juga yang mendorong saya untuk tetap mencari sajak-sajak yang lainnya. Singkatnya dari puisi kemudian bergeser ke novel. Dengan judul yang sama mencoba untuk memahami baris demi baris dari kisahnya. Cukup menarik. Cukup berkesan. Cukup mendalam. Cukup untuk menumpahkan berbagai emosi. Juga cukup untuk membuat saya berhasrat ingin mencicipi kisahnya dalam sebuah film. Bukan sesuatu yang baru juga untuk judul film yang sama ini. Namun ketertarikan pada film itu belum pernah muncul sebelum saya jatuh dan tenggelam ke dalam setiap sajaknya juga berkat godaan kisah yang ditampilkan novelnya.
Ada keraguan. Jelas sekali. Ini hampir sama saat saya bergumam meragukan novel ini. Bagaimana mungkin sebuah sajak puisi dapat diuraikan dengan jelas pada sebuah peristiwa dalam novel ini? Apakah novel ini memberikan cukup ruang untuk mengantarkan pembaca menemukan keindahan seperti pada sajak nya? Itu karena saya meyakini bahwa puisi merupakan jenis tulisan yang sangat sulit untuk dijelaskan maknanya. Banyak ungkapan-ungkapan yang sering mengecoh para pembaca. Penulis menyelipkan maksudnya pada setiap kata dan bahasa yang diramunya. Namun sebuah tulisan akan tetap memainkan perannya dalam merangkai setiap peristiwa dan emosi. Sekalipun itu novel tapi mereka masih dapat memberikan ruang untuk mendapatkan keindahan yang sebenarnya. Akan berbeda jika imajinasi itu sudah bernafas. Tumpukan emosi mendalam yang dikandung setiap barisnya akan terbatas pada gambaran yang terbatas pula. Itu pikir saya.
Alhasil pengembaraan saya tentang ‘hujan bulan Juni’ membeku dan berbalik arah di depan gambaran yang bernafas itu. Saya lebih memilih Pingkan dan Sarwono menjadi sosok yang selalu ada di gambaran yang saya buat sendiri lengkap dengan bayangan dan jejaknya. Tidak perlu memberinya nafas agar ruh dari baris-baris alfabet itu hidup. Mereka sudah hidup pada masing-masing imajinasi para pembaca dengan emosi yang begitu dalam. Dari sini saya juga memutuskan untuk tidak tamak dalam menanggapi suatu cerita. Tidak perlu membuatnya bergerak lurus seperti para pengagum kesempurnaan atau garis datar. Garis lengkung maupun bersudut pastilah memiliki rutenya sendiri. Keindahan yang terpendam juga tidak pernah berhenti didapatkan saat menyusuri alurnya satu demi satu.
“Sebuah tulisan bukan lagi milik penulis saat sudah dibaca oleh para pembaca”. Boleh juga dikatakan seperti ini; sebuah cerita telah menjadi milik penulis sejak pertama kali alurnya ditulis. Mereka pun juga bebas menuangkan imajinasinya. Namun saat cerita itu dibagikan kepada para penonton maka kebebasan berimajinasi itu juga menjadi hak para penonton yang sedang menikmati emosi yang dimainkannya. Tulisan maupun gambar hidup memiliki kebebasan untuk dimainkan seliar mungkin. Namun jika tulisan berubah menjadi gambar hidup saya rasa tetap tidak akan dapat menjelaskan dan mengungkapkan gambaran yang sesungguhnya dari emosi yang terkandung setiap barisnya. Atau terkadang malah akan merusak citra yang disebabkan oleh wujud yang tebatas itu.
Dan memang tidak ada yang lebih tabah, lebih bijak dan lebih arif dari ‘hujan bulan Juni’.
(Sapardi Djoko Damono-1989)
Komentar
Posting Komentar