Berbagi Kisah tentang penyakit tuberculosis (TBC)

Dengan menyebut nama Tuhanku Yang Maha Pengasih dan Penyayang…….

Mengawali tulisan ini saya mencantumkan kalimat tersebut karena dengan itu saya dapat melewati hal yang sebelumnya tidak pernah terlintas. Dimulai dari awal tahun lalu ketika saya masih merasa seperti biasanya. Saya yang insyaallah memiliki gen yang bagus dari keluarga tentang kesehatan. Saya maupun keluarga jarang sakit yang berat. Apalagi seingat saya, saya jarang sekali batuk. Hanya flu dan permasalahan pada hidung karena sedikit alergi dengan debu halus dan bau menyengat. Pun saya orang yang aktif, suka kegiatan dan  memiliki tenaga yang kuat meskipun saya seorang perempuan. Karena itu yang selalu diajarkan oleh orangtua mengingat saya tidak punya saudara sekandung.

Sampai akhir bulan kedua tahun lalu saya merasakan pusing dan lemas serta tidak bertenaga. Suhu tubuh meningkat, batuk dan sedikit nyeri di dada.  Saya berkesimpulan ini tanda harus beristirahat. Namun saya tetap memaksakan untuk beraktivitas seperti biasanya dengan alasan saya adalah orang baru yang harus menunjukkan sikap yang baik pada awal menjejak di suatu organisasi atau instansi . Selama satu minggu dari saya merasa tidak fit, tidak pernah sekalipun saya absen. Sampai di akhir pekan saya putuskan untuk periksa ke dokter dan tanpa banyak berkata saya diberi surat izin untuk beristirahat dulu di rumah tanpa aktivitas apapun selain makan, sembahyang dan membersihkan diri.

Singkat cerita saya didiagnosa tipes oleh dokter. Namun setelah tiga kali saya berobat panas di tubuh tidak kunjung turun. Batuk tidak mereda bahkan setelah  meminum obat yang diresepkan. Batuk yang saya alami adalah jenis batuk berdahak. Hal yang mengejutkan lagi adalah pagi ketika saya batuk ada bercak darah yang ikut keluar bersama dahak. Tidak banyak. Hanya bercak. Saya terkejut dan langsung memanggil ibu sembari bergantung pada jawaban atas kejadian ini. Kata ibu saya harus kembali berobat untuk menanyakan ini. Namun entah karena takut sebab saat itu mulai beredar kabar tentang pandemi di mana mana, atau karena saya tidak ingin mempercayai kenyataan, saya pun menolak. Saya berkesimpulan, Kita tunggu sampai besuk pagi. Jika dalam sehari tidak mereda atau tetap seperti ini, sore kita ke dokter. Ibu pun mengiyakan tanpa membantah. Karena saya terus menerus meyakinkan bahwa diri saya baik-baik saja.

Setelah dua bulan mendekati tiga bulan panas saya mereda namun tidak benar-benar mereda. Malahan terasa dingin disertai menggigil saat pagi hari setelah sarapan. Alhasil saya selalu menghangatkan badan setiap pagi di bawah sinar matahari. Namun menjelang siang hari suhu tubuh kembali naik. Ada hal yang tidak beres kata bapak. Ibu juga mengatakan demikian dan kembali mengajak saya berobat. Saya tetap kekeh beranggapan saya baik-baik saja. Hal itu karena setelah suhu tubuh tinggi pada siang hari, lalu  kembali normal saat saya beri tidur sebentar. Saya kembali fresh dan ya… it’s okey. Makanya tidak pernah saya berhenti dari aktivitas karena memang saya masih kuat.

Kondisi ini berlanjut hingga enam bulan kemudian. Namun tidak ada tanda bahwa batuk saya akan mereda. Saat itu bapak gelisah melihat tubuh saya semakin kecil. Tapi sekali lagi saya mengatakan, saya baik-baik saja. Sudah tidak tahan ibu memutuskan untuk membawa saya ke dokter dengan sedikit paksaan. Tiga kali lagi periksa diagnosanya masih sama, tipes. Dan tidak ada tanda panas, dingin, batuk akan mereda. Sampai akhirnya ibu ke rumah kakaknya (budhe) curhat dan meminta saran. Akhirnya saya diminta untuk opname ke klinik dekat rumahnya dan nanti akan langsung di lab untuk mengetahui panas ini disebabkan oleh apa. Benar saja. Hasil lab menunjukkan ada infeksi di tubuh saya namun belum diketahui infeksi ada di mana. Sejauh ini saya masih merasakan dalam keadaan baik-baik saja.

Hasil lebih akurat didapat setelah pemeriksaan selanjutnya yaitu X-ray. Ternyata infeksi terletak di paru-paru sebelah kiri dan sedikit merembet ke sebelah kanan. Dari situ disimpulkan bahwa saya terinfeksi bakteri tuberculosis (TBC). Takdir apa yang menimpa saya tahun ini. Saya hampir down karena kabar tersebut. Namun orangtua dan keluarga mengatakan saya tidak boleh down. Saya harus kuat dan tetap menjaga imun tubuh agar dapat sembuh. Sampai di sini saya mulai merasa tubuh saya lemah tidak bertenaga. Nafas saya mulai tersengal-sengal. Bukan karena keterkejutan, tetapi memang dikarenakan infeksi bakteri ini sejatinya menyerang imun tubuh. Bagaimana saya menahannya selama ini, selama hampir enam bulan.

Berbagai pertanyaan dan penyesalan mulai berdialog di dalam hati dan pikiran. Kegelisahan dan ketakutan yang sangat besar menyelimuti hari-hari saya. Sebenarnya dari awal sakit dan saya menemukan bercak darah ketika batuk beberapa bulan lalu saya sudah agak khawatir. Jangan-jangan sesuatu yang tidak pernah saya harapkan telah terjadi. Namun kembali saya enggan menerima kenyataan dan mulai memaksakan untuk selalu berpikir positif. Apalagi setelah membaca beberapa artikel bahwa penyakit TBC ini merupakan penyebab kematian nomor tiga di dunia. Habislah saya. Habislah mimpi dan harapan saya seketika. Hanya air mata dan penyesalan yang tersisa. Namun apa yang saya sesalkan? Selama ini saya sudah berusaha menjaga kesehatan serta berhati-hati dalam segala hal. Oh ya…. Mungkin ini ganjaran atas dosa yang saya lakukan selama ini. Dengan berpikir seperti itu saya mulai dapat menguasai ketakutan dan kegelisahan.

Akhirnya saya dirujuk untuk dirawat di rumah sakit yang lebih besar. Okey… saya tidak punya pilihan. Tetapi, ada yang paling saya sesalkan. Sesampainya di RS saya malah diperlakukan seperti pasien covid. Oh tidak… ini bukan yang saya mau. Sekali lagi saya hanya bisa pasrah. Ibu yang awalnya selalu memberi semangat dan kekuatan serta  tidak pernah sekalipun matanya berair, saat itu suaranya bergetar saat saya dibawa ke ruang isolasi. Bagaimana tidak. Membayangkan saja sangat mengerikan dan fakta bahwa kemalangan terus menerus menyambangi saya dan keluarga. Tapi dengan semangat dan tekad untuk sembuh saya bisa melewati hari-hari di ruang isolasi dan meyakinkan semuanya bahwa saya bisa. Total Sembilan hari saya berada di isolasi yang tentunya memberi saya banyak hal untuk dikisahkan.

Dan pengobatan berlanjut dengan obat jalan yang biasa disebut dengan pengobatan enam bulan. Dari saat saya di klinik juga RSUD, saya sudah banyak menerima edukasi tentang penyakit ini. Bagaimana saya harus mengubah pola hidup, harus menjaga orang-orang di sekitar:terutama keluarga, serta kiat-kiat untuk segera sembuh. Kebetulan budhe merupakan kader untuk penyakit TBC, jadi ini sangat membantu saya dalam  proses penyembuhan berkat semangat dan edukasi yang selalu diberikan. Pantang menyerah dan selalu memiliki kebanggaan ketika saya dapat melewati ujian ini, itu juga yang selalu dikatakan. Berat memang untuk langsung menerima dengan lapang. Apalagi hal ini terjadi di tengah pandemi. Namun seringkali saya diingatkan bahwa saya tidak sendiri. Saya tidak berbeda dengan mereka. Mereka siapa? Mereka yang juga terinfeksi dan akhirnya dapat sembuh.

Saat ini pengobatan sudah berjalan masuk bulan ke empat. Waktu yang tidak sebentar jika menengok ke belakang. Kondisi saya semakin membaik. Batuk sudah berkurang dan tentunya panas dingin berangsur mereda mendekati sembuh. Berat badan juga sudah bertambah 3kg yang sempat hilang mencapai 10kg. Bersama dengan ini saya juga telah kehilangan banyak hal lainnya seperti profesi, kelompok, kesempatan, kebersamaan, keberuntungan, kepercayaan dan lainnya. Sesuatu yang awalnya saya tekuni dan perjuangkan satu per satu pergi. Tetapi itu sepadan dengan nafas yang saya hirup . Nafas yang awalnya begitu berat untuk di hembuskan. Menyadarkan  saya bahwa akhirny diberi kesempatan untuk memilih antara kesehatan atau  materi.

Saya harus terus semangat dan kuat untuk berperang melawan bakteri ini. Meskipun ada kegelisahan lain yaitu fakta bahwa seseorang yang pernah terinfeksi bakteri tuberculosis (TBC) rentan untuk kambuh, namun dengan kepercayaan dan tekad untuk selalu sehat, Tuhan pasti akan menjaga saya. Yang perlu saya lakukan hanya selalu menyadari bahwa sewaktu-waktu yang saya miliki akan diambil. Saya harus siap dan legowo. Tidak boleh mengeluh dan menyalahkan semaunya. Karena sejatinya saya juga tidak mempunyai apapun. Untuk para pembaca, saya memohon do’a agar kami semua yang sedang berjuang terus diberi kekuatan dan lekas pulih dari kondisi ini. Sehat memang mahal. Namun jika harus sakit apa boleh buat. Itu semua kehendak Yang Maha Bijaksana.

Salam sehat………

Komentar

Postingan populer dari blog ini

JTL-My Lecon lyric and translate

TAMAT

Untuk Saling Mengingatkan Tanggung Jawab